Senin, 30 Agustus 2010

Sejarah Indramayu

Kabupaten Indramayu yang termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat, dengan wilayah darat 20.006,4 km2 merupakan wilayah yang cukup luas. Sumberdaya alamnya dari laut, sawah, dan hutan. Secara historis, selama ini Indramayu menyatakan diri memiliki akar sejarah dari Jawa Tengah (Bagelen) melalui tokoh Arya Wiralodra. Dalam beberapa sumber, ada yang menyebut tokoh ini utusan Demak (abad ke-16), ada pula yang menyebut Mataram (abad ke-17). Akar sejarah itulah yang menjadikan Indramayu bukanlah wilayah Sunda, meskipun berada di Jawa Barat yang mayoritas dihuni suku Sunda dan berbahasa Sunda. Meski demikian, perkembangan selanjutnya menunjukkan Indramayu juga tidak serupa dengan realitas sosio-kultur Jawa Tengah. Ada semacam sosio-kultur tersendiri yang “bukan Jawa” dan “bukan pula Sunda”. Bagi orang Indramayu, menyebut orang Jawa Tengah adalah “wong wetan”, sedangkan orang Pasundan adalah “wong gunung”. Sosio-kultur Indramayu itu menunjukkan karakter yang sebangun dengan Cirebon.
Secara akar sejarah pula, beberapa daerah di Indramayu berkaitan dan banyak dipengaruhi kerajaan lain di sekitarnya, seperti Cirebon dan Sumedanglarang. Jika yang disebut wilayah kekuasaan Wiralodra sebagai Kabupaten Indramayu seperti sekarang, tampaknya harus ditelisik lebih dalam. Ketika dinasti Wiralodra berkuasa hingga pertengahan abad ke-19, peristiwa politik dan keagamaan di Pulau Jawa sangat dinamis. Dimulai dari runtuhnya Majapahit sebagai simbol kebesaran agama Hindu pada tahun 1527, dinamika itu tampak dengan kemunculan kerajaan Islam, Demak, yang mampu berpengaruh pada Cirebon dan Banten, serta dikuasainya Sundakelapa dari Pajajaran. Simbol kebesaran Hindu lainnya dalam diri Pajajaran pun runtuh juga. Gegap politik dan kekuasaan seperti itu sedikit banyak, tentu saja, memiliki pengaruh yang kuat pada Cimanuk (Indramayu) sebagai wilayah kecil yang berada pada pusaran dinamika itu. Berakhirnya era Hindu dan bangkitnya Islam juga menyentuh kehidupan sosio-religi di wilayah tersebut. Ketika Mataram menguasai Jawa Barat selama 57 tahun (1620-1677), pengaruh kekuasaan itu sangat jelas pada daerah-daerah yang sekarang bernama Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Cirebon, dan beberapa lainnya sebagai wilayah imperium Mataram.
Ketika Wiralodra dianggap sebagai pendiri Kabupaten Indramayu dan 7 Oktober 1527 sebagai hari kelahiran Indramayu, legitimasi itu dilakukan pada era kekinian, yakni berdasarkan Perda No. 02/1977 tanggal 24 Juni 1977. Nama Indramayu sebagai wilayah kabupaten, sebenarnya berasal dari nama wilayah kecamatan yang berada di kota (Sindang – Kota Indramayu), titik sentral kekuasaan dinasti Wiralodra. Menurut Babad Dermayu yang ditulis tahun 1900, beberapa keturunan Wiralodra menjabat beberapa jabatan penting di beberapa wilayah sebagai demang maupun rangga, misalnya Raden Marngali Wirakusuma (Demang Bebersindang, mungkin maksudnya Sindang), Nyayu Wiradibrata (rangga), Nyayu Malayakusuma (Demang Plumbon), Nyayu Hekakusuma (Demang Anjatan), Nyayu Suradisastra (ulu-ulu), Nyayu Hanjani (mantri tanah), Raden Kalid Wiradaksana (Demang Lohbener), Raden Prawiradirja (Demang Losari), Raden Wirasentika (Demang Lohbener), Nyayu Sastrakusuma (Jututulis Demang Brengenyeber), Nyayu Patimah (Demang Lelea), Raden Wirasaputra (demang).
Klaim bahwa nama wilayah sekabupaten dengan nama Indramayu, sebenarnya dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19, seperti dalam Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869 untuk menetapkan seorang bupati dengan wilayah kabupaten. Pendapat ini sejalan dengan Dasuki (1977):
Kalau yang dimaksud dengan daerah Dermayu dalam babad itu adalah suatu tempat yang sekarang merupakan lokasi desa Dermayu, mungkin ada benarnya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan daerah Indramayu ialah daerah yang sekarang merupakan daerah jurisdiksi Indramayu, sudah pasti tidak benar, sebab bertentangan dengan pemberitaan dari beberapa sumber lain yang menyatakan bahwa sebelum Wiralodra datang ke daerah Indramayu, di beberapa bagian daerah ini sudah ada manusia yang berbudaya.
Yang terjadi pada era dinasti Wiralodra, Indramayu cenderung identik pada wilayah yang sekarang disebut sekitar Sindang, Kota Indramayu, hingga Lohbener. Pada kurun waktu sebelumnya atau bersamaan, wilayah lain memiliki nama yang berbeda, dengan tokoh pendiri (Ki Gede) yang berbeda pula. Beberapa hal bisa menjadi argumentasi bahwa Kabupaten Indramayu bukanlah “Dermayu”-nya Wiralodra, dulu. Naskah Wangsakerta menguraikan tentang mazhab-mazhab dalam Islam yang berkembang di Pulau Jawa, termasuk wilayah Cirebon dan Indramayu seperti dituliskan dalam Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, parwa 2 sargah 4. Beberapa Ki Gedeng (Ki Gede) dari Indramayu ada yang dikategorikan menganut mazhab Syafi’i, tetapi ada pula yang Syi’ah yang diajarkan Syeh Lemahabang. Penganut mazhab Syafi’i adalah Ki Gedeng Krangkeng, Ki Gedeng Dermayu, Ki Buyut Karangamapel, Pangeran Losarang, Ki Gedeng Srengseng, dan Ki Gedeng Pekandangan, sedangkan mazhab Syi’ah dianut oleh Ki Gedeng Junti. Data seperti itu bukan hanya menyiratkan tentang perkembangan mazhab dalam Islam yang dianut para tokoh masyarakat (Ki Gedeng, Ki Buyut) di Indramayu, akan tetapi lebih dari itu menyiratkan adanya deskripsi kesejajaran tokoh-tokoh tersebut. Penyebutan nama-nama Ki Gedeng atau Ki Buyut di enam daerah tersebut tampak memiliki derajat yang sama. Antara Krangkeng, Dermayu, Karang Ampel, Srengseng, Pekandangan, dan Junti tidak ada hirarkis. Hal itu bisa diinterprestasikan di wilayah-wilayah tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng atau Ki Buyut secara otonom dan tidak menginduk pada Ki Gedeng atau Ki Buyut di sekitarnya. Ki Gedeng Dermayu tidak membawahi Ki Gedeng Krangkeng, Karang Ampel, Srengseng, Pekandangan, dan Junti, tetapi berdiri sejajar. Acuan kurun waktunya adalah masa hidup Sunan Gunungjati dan Syeh Lemahabang (abad ke-16).
Sebelumnya kesejajaran itu tampak pada cerita Ciungwanara pada zaman Pajajaran yang menyebut-nyebut nama Indramayu, Junti, Anjatan, dan Kandanghaur, seperti dalam Waosan Babad Galuh (Serengrana, 1280 H). Naskah lain pada zaman Pajajaran menyiratkan adanya tokoh lain dan wilayah lain di Indramayu yang sudah disebut keberadaannya sejak abad ke-15, seperti dalam buku Sunan Rahmat Suci Godog (Deddy Effendy-Warjita, 2006). Disebut-sebut nama Raden Khalipah Kandangaur yang bersahabat dengan Kean Santang (putra Prabu Sri Baduga Maharaja dengan Subang Larang). Kean Santang adalah adik Pangeran Walangsungsang (Cakrabuana) dan Nyi Mas Rarasantang (ibunda Sunan Gunungjati).
Pengaruh Sunan Gunungjati, baik secara religi dan sosio-politik, amat kuat pada hampir seluruh tokoh (Ki Gede) dari desa-desa kuna di Indramayu. Sekitar 70 Ki Gede, dari Sukra hingga Kertasemaya, dari Bantarwaru hingga Singakerta, dimakamkan di sekitar makam Sunan Gunungjati di Nur Giri Ciptarengga, Gunung Sembung, Cirebon (Bambang Irianto, makalah 2007). Adanya makam Habib Keling di Desa Tanjakan Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu menjadi catatan tersendiri, apakah Habib Keling identik dengan Dipati Keling. Jika ya, menegaskan lagi adanya relasi itu, sebab Dipati Keling merupakan sahabat Sunan Gunungjati yang ikut serta dalam penyerangan ke Batavia tahun 1526. Ia salah seorang komandan, di samping beberapa komandan lainnya seperti Dipati Cerbon, Dipati Cangkuang, dan Faletehan. Sebelumnya Dipati Keling bersama 98 pengikutnya menyatakan masuk Islam dan bergabung bersama Sunan Gungjati. Diperkirakan, Dipati Keling berasal dari India, karena kulitnya hitam seperti orang Keling (Sunardjo 1983: 53,81). Sangat mungkin, yang dimaksud makam tersebut adalah petilasan, sebab makam Dipati Keling terdapat di Astana Gunungjati Cirebon berdekatan dengan Sunan Gunung Jati. Jejak lain di Indramayu yakni adanya makam Pangeran Suryanegara yang terdapat di Desa Bulak Kecamatan Jatibarang dan memiliki keturunan di Indramayu (Raffan S. Hasyim, makalah 2007). Suryanegara adalah adik bungsu Dipati Cerbon I atau Pangeran Swarga (putra Pangeran Pasarean dengan Ratu Mas Nyawa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar