Senin, 30 Agustus 2010

Sejarah Haji Ibrohim

Pekan-pekan ini, jamaah haji Indonesia sudah kembali ke tanah air. Gelar haji, sebagaimana tradisi Indonesia, segera mereka sandang. Peci putih dan sorban menjadi sandangan khasnya. Gemerlap penyambutan dan pesta syukur segera digelar. Tamu pun berdatangan. Oleh-oleh air zamzam, kurma, dan jagung Arab segera terhidang (meski terkadang dibeli di Ampel Surabaya). Ah, semoga mereka menjadi haji mabrur!

Berbicara tentang haji, menarik untuk menjawab pertanyaan, apa di balik haji itu? Tentu dengan mudah kita bisa menjawabnya, bahwa haji adalah rangkaian napak tilas (keluarga) Ibrahim as dan kemudian disempurnakan oleh Rasulullah saw.
Bukankah Ka’bah, bangunan sederhana, sebuah bentuk kubus tua yang nyaris tanpa sentuhan arsitektur rumit itu adalah bagian dari karya Ibrahim? Bukankah Sai, lari-lari kecil dari bukan Shafa ke bukit Marwah adalah jejak perjuangan Ibunda Hajar. Bukankah air zamzam yang memancarkan sumber kehidupan itu adalah buah perjuangan Hajar? Bukankah melempar jumrah itu adalah cermin ketegasan Ibrahim dalam menjawab keraguan dan godaan? Dan bukankah menyembelih ternak kurban itu adalah bagian dari “pengabadian” peristiwa monumental pengurbanan Ismail as?
Kata kunci selanjutnya adalah ternyata jejak perjalanan hidup dan perjuangan (keluarga) Ibrahim as itu bersifat “mengabadi”. Berabad tahun, sampai kini, dan esok, sejarah itu tetap akan dinapaktilasi oleh milyaran hamba Allah. Orang-orang bermimpi, bercita-cita, dan berhasrat menapaktilasi. Maka jutaan dolar uang terkumpul dan tersalur untuk niat itu, bahkan dengan kerja keras yang tiada pupus.
Dan pertanyaan penting yang perlu kita pecahkan sekarang adalah, mengapa sejarah Ibrahim as itu mengabadi?
Manusia Dikenang oleh Amalnya
Pepatah yang sudah kita kenal mengatakan: gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama. Dalam perspektif Islam, manusia mati meninggalkan amal, seperti sabda Nabi saw: “Jika keturunan Adam meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak shaleh yang mendoakan orang tua.”
Al Qur’an memberi motivasi yang kuat bagaimana agar manusia mendedikasikan dirinya untuk beramal. Perintah beriman, seringkali dilanjutkan dengan perintah beramal. Seolah hendak ditegaskan bahwa nilai keimanan itu belum sempurna tanpa diwujudkan dengan amal (shaleh). Bahkan, boleh dikatakan bahwa amal adalah keniscayaan hidup manusia.
Kita akan memahami mengapa amal adalah bagian dari jati diri manusia itu, terutama karena Allah telah memberi kita empat daya pokok. Pertama, daya fisik yang menghasilkan kegiatan fisik dan ketrampilan. Kedua, daya pikir yang mendorong pemiliknya berpikir dan menghasilkan ilmu pengetahuan. Ketiga, daya kalbu yang menjadikan manusia mampu berkhayal, mengekspresikan keindahan, dan merasa. Keempat, daya hidup yang menghasilkan semangat juang, kemampuan menghadapi tantangan dan menanggulangi kesulitan (M. Quraish Shihab, 2000).
Penggunaan salah satu dari daya-daya tersebut, betapapun sederhananya, akan menghasilkan amal (kerja). Bahkan kita temukan dalam salah satu surat, bagaimana Allah memberi motivasi yang sangat kuat agar kita bersungguh-sungguh dalam beramal, dan tidak memberi sedikitpun peluang untuk menganggur. Dalam surah Alam Nasrah/94: 7, Allah berfirman: faidza faraghta fanshab. Faragh berartikosong setelah sebelumnya penuh” dan fanshab berarti “berat atau letih”. Arti kalimat ini adalah “Maka apabila engkau telah berada di dalam keluangan (setelah tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah bekerja) sampai engkau letih, atau tegakkanlah (persoalan baru) sehingga menjadi nyata.”
Amal yang “Mengabadi”
Ibarahim as memberi teladan bagaimana membangun amal yang “mengabadi”. Perjalanan hidupnya seluruhnya adalah bagian dari amal dan perjuangan menegakkan kebenaran. Ibrahim as yang dibakar oleh api permusuhan raja Namrud. Ibrahim yang didera oleh kerisauan panjang tentang potensi keterputusan keturunannya. Ibrahim yang terombang-ambing psikologinya oleh perintah penyembelihan anaknya, Ismail as. Tapi Ibrahim selalu lulus dalam setiap ujian dan terpaan hidup.
Mari kita lihat salah satu episode ketika kaum kafir berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” Maka Allah berfirman, “Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim. Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka kami menjadikan mereka itu orang-orang yang merugi.” (Al Anbiya’/21:68-70).
Apa resep Ibrahim? Tidak lain adalah karena dia menyandarkan diri sepenuhnya kepada Allah, taslim. Maka Allah akan menyelamatkan dan membalasnya dengan kesejahteraan dan “keabadian”. Sebab, inna maal usri yusro, wainna maal usri yurso, sungguh bersama kesulitan adalah kemudahan, dan sungguh bersama kesulitan adalah kemudahan.
Dalam bahasa modern, keikhlasan, ketulusan, dan kepasrahan Ibrahim as itu menjadikan maqam spiritualnya melangit. Maka, inilah kata kunci yang diberikan Ibrahim as: bahwa untuk menjadikan amal “mengabadi” sertailah dengan nilai-nilai spiritual.
Bismillah, Maka “Abadilah”
Rasulullah saw memberi pengajaran pada kita, bahwa dalam setiap mengawali amal, diharuskan mengawalinya dengan bacaan basmallah. Apa maknannya? Secara harfiyah, kalimat ini bisa berarti bacalah disertai dengan Nama Allah. Dalam konteks yang lazim menjadi ungkapan Arab—yakni mengaitkan satu pekerjaan dengan nama sesuatu yang mereka muliakan—kalimat itu mengandung makna: 1) Agar pekerjaan itu mendapat “berkat”. 2) Menunjukkan bahwa pekerjaan itu dilakukan semata-mata demi “Dia”. 3) Agar pekerjaan itu mendapat “bekas” dari sifat atau keadaan dari nama yang diambil itu.
Dengan nama Allah mengantarkan pelaku amal untuk tidak melakukannya kecuali karena Allah dan hal ini akan menghasilkan keabadian karena hanya Allah yang Kekal Abadi dan hanya pekerjaan yang dilakukan secara ikhlas yang akan diterimanya. Tanpa keikhlasan, semua aktivitas akan berakhir dengan kegagalan dan kepunahan. Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan (tanpa keimanan dan keikhlasan) itu, lalu Kami jadikan amal tersebut (bagaikan) debu yang beterbangan. (Al Furqan/25: 23).
Nabi Muhammad saw. Juga bersabda: “Setiap pekerjaan yang tidak bertolak dari bismillah maka pekerjaan tersebut menjadi abtar (terputus, tidak berkesinambungan atau tidak abadi).”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar