Senin, 30 Agustus 2010

Sejarah Haji Ibrohim

Pekan-pekan ini, jamaah haji Indonesia sudah kembali ke tanah air. Gelar haji, sebagaimana tradisi Indonesia, segera mereka sandang. Peci putih dan sorban menjadi sandangan khasnya. Gemerlap penyambutan dan pesta syukur segera digelar. Tamu pun berdatangan. Oleh-oleh air zamzam, kurma, dan jagung Arab segera terhidang (meski terkadang dibeli di Ampel Surabaya). Ah, semoga mereka menjadi haji mabrur!

Berbicara tentang haji, menarik untuk menjawab pertanyaan, apa di balik haji itu? Tentu dengan mudah kita bisa menjawabnya, bahwa haji adalah rangkaian napak tilas (keluarga) Ibrahim as dan kemudian disempurnakan oleh Rasulullah saw.
Bukankah Ka’bah, bangunan sederhana, sebuah bentuk kubus tua yang nyaris tanpa sentuhan arsitektur rumit itu adalah bagian dari karya Ibrahim? Bukankah Sai, lari-lari kecil dari bukan Shafa ke bukit Marwah adalah jejak perjuangan Ibunda Hajar. Bukankah air zamzam yang memancarkan sumber kehidupan itu adalah buah perjuangan Hajar? Bukankah melempar jumrah itu adalah cermin ketegasan Ibrahim dalam menjawab keraguan dan godaan? Dan bukankah menyembelih ternak kurban itu adalah bagian dari “pengabadian” peristiwa monumental pengurbanan Ismail as?
Kata kunci selanjutnya adalah ternyata jejak perjalanan hidup dan perjuangan (keluarga) Ibrahim as itu bersifat “mengabadi”. Berabad tahun, sampai kini, dan esok, sejarah itu tetap akan dinapaktilasi oleh milyaran hamba Allah. Orang-orang bermimpi, bercita-cita, dan berhasrat menapaktilasi. Maka jutaan dolar uang terkumpul dan tersalur untuk niat itu, bahkan dengan kerja keras yang tiada pupus.
Dan pertanyaan penting yang perlu kita pecahkan sekarang adalah, mengapa sejarah Ibrahim as itu mengabadi?
Manusia Dikenang oleh Amalnya
Pepatah yang sudah kita kenal mengatakan: gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama. Dalam perspektif Islam, manusia mati meninggalkan amal, seperti sabda Nabi saw: “Jika keturunan Adam meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak shaleh yang mendoakan orang tua.”
Al Qur’an memberi motivasi yang kuat bagaimana agar manusia mendedikasikan dirinya untuk beramal. Perintah beriman, seringkali dilanjutkan dengan perintah beramal. Seolah hendak ditegaskan bahwa nilai keimanan itu belum sempurna tanpa diwujudkan dengan amal (shaleh). Bahkan, boleh dikatakan bahwa amal adalah keniscayaan hidup manusia.
Kita akan memahami mengapa amal adalah bagian dari jati diri manusia itu, terutama karena Allah telah memberi kita empat daya pokok. Pertama, daya fisik yang menghasilkan kegiatan fisik dan ketrampilan. Kedua, daya pikir yang mendorong pemiliknya berpikir dan menghasilkan ilmu pengetahuan. Ketiga, daya kalbu yang menjadikan manusia mampu berkhayal, mengekspresikan keindahan, dan merasa. Keempat, daya hidup yang menghasilkan semangat juang, kemampuan menghadapi tantangan dan menanggulangi kesulitan (M. Quraish Shihab, 2000).
Penggunaan salah satu dari daya-daya tersebut, betapapun sederhananya, akan menghasilkan amal (kerja). Bahkan kita temukan dalam salah satu surat, bagaimana Allah memberi motivasi yang sangat kuat agar kita bersungguh-sungguh dalam beramal, dan tidak memberi sedikitpun peluang untuk menganggur. Dalam surah Alam Nasrah/94: 7, Allah berfirman: faidza faraghta fanshab. Faragh berartikosong setelah sebelumnya penuh” dan fanshab berarti “berat atau letih”. Arti kalimat ini adalah “Maka apabila engkau telah berada di dalam keluangan (setelah tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah bekerja) sampai engkau letih, atau tegakkanlah (persoalan baru) sehingga menjadi nyata.”
Amal yang “Mengabadi”
Ibarahim as memberi teladan bagaimana membangun amal yang “mengabadi”. Perjalanan hidupnya seluruhnya adalah bagian dari amal dan perjuangan menegakkan kebenaran. Ibrahim as yang dibakar oleh api permusuhan raja Namrud. Ibrahim yang didera oleh kerisauan panjang tentang potensi keterputusan keturunannya. Ibrahim yang terombang-ambing psikologinya oleh perintah penyembelihan anaknya, Ismail as. Tapi Ibrahim selalu lulus dalam setiap ujian dan terpaan hidup.
Mari kita lihat salah satu episode ketika kaum kafir berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” Maka Allah berfirman, “Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim. Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka kami menjadikan mereka itu orang-orang yang merugi.” (Al Anbiya’/21:68-70).
Apa resep Ibrahim? Tidak lain adalah karena dia menyandarkan diri sepenuhnya kepada Allah, taslim. Maka Allah akan menyelamatkan dan membalasnya dengan kesejahteraan dan “keabadian”. Sebab, inna maal usri yusro, wainna maal usri yurso, sungguh bersama kesulitan adalah kemudahan, dan sungguh bersama kesulitan adalah kemudahan.
Dalam bahasa modern, keikhlasan, ketulusan, dan kepasrahan Ibrahim as itu menjadikan maqam spiritualnya melangit. Maka, inilah kata kunci yang diberikan Ibrahim as: bahwa untuk menjadikan amal “mengabadi” sertailah dengan nilai-nilai spiritual.
Bismillah, Maka “Abadilah”
Rasulullah saw memberi pengajaran pada kita, bahwa dalam setiap mengawali amal, diharuskan mengawalinya dengan bacaan basmallah. Apa maknannya? Secara harfiyah, kalimat ini bisa berarti bacalah disertai dengan Nama Allah. Dalam konteks yang lazim menjadi ungkapan Arab—yakni mengaitkan satu pekerjaan dengan nama sesuatu yang mereka muliakan—kalimat itu mengandung makna: 1) Agar pekerjaan itu mendapat “berkat”. 2) Menunjukkan bahwa pekerjaan itu dilakukan semata-mata demi “Dia”. 3) Agar pekerjaan itu mendapat “bekas” dari sifat atau keadaan dari nama yang diambil itu.
Dengan nama Allah mengantarkan pelaku amal untuk tidak melakukannya kecuali karena Allah dan hal ini akan menghasilkan keabadian karena hanya Allah yang Kekal Abadi dan hanya pekerjaan yang dilakukan secara ikhlas yang akan diterimanya. Tanpa keikhlasan, semua aktivitas akan berakhir dengan kegagalan dan kepunahan. Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan (tanpa keimanan dan keikhlasan) itu, lalu Kami jadikan amal tersebut (bagaikan) debu yang beterbangan. (Al Furqan/25: 23).
Nabi Muhammad saw. Juga bersabda: “Setiap pekerjaan yang tidak bertolak dari bismillah maka pekerjaan tersebut menjadi abtar (terputus, tidak berkesinambungan atau tidak abadi).”

Sejarah Habib Mustofa Bin Soleh Al-Haddad

Usianya telah merambat senja, namun semangatnya dalam menegakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar tetap membara. Itulah sosok dai Habib Mustofa bin Soleh Al-Hadad dari Pontianak yang juga dikenal sebagai Ketua Front Pembela Islam (FPI) Kalimantan Barat
Pria berumur 58 tahun ini gigih membrantas segala bentuk kemunkaran di mana tempat. Kerap ia berurusan dengan aparat keamanan dan pemerintah di Pontianak karena kevokalannya menyuarakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Bahkan ia sempat ditahan oleh kepolisian karena sikapnya yang berlawanan dengan sikap pemerintah. Tapi itu dulu, sekarang ia banyak berkecimpung dalam barisan Front Pembela Islam (FPI) Kalimantan Barat dan juga kesibukannya banyak diisi dengan berdakwah baik di Pesantren yang ia pimpin atau pun menghadiri majelis-majelis taklim yang mengundangnya.
Habib Mustofa bin Soleh Al-Haddad, kelahiran Pontianak 17 Agustus 1949 ini adalah putra 3 dari 6 bersaudara dari Habib Soleh Al-Haddad. Ia mengenyam pendidikan dasar sampai kelas III Sekolah Rakyat (SR). Kemudian ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Darul Hadits, Malang (Jawa Timur) yang diasuh oleh Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih selama 10 tahun (1957-1967).
Selama di Darul Hadits, ia seangkatan dengan Habib Syekh bin Ali Al-Jufri, Habib Abdul Qadir Al-Hadad (Condet, Jakarta Timur), Habib Mustofa bin Abdul Qadir Alaydrus (Sabilal Muhtadin, Jakarta Selatan), Habib Ahmad Habsyi (Palembang), Habib Abdullah Abdun (Malang), Habib Abdullah bin Alwi Al-Kaff (Cirebon), Habib Ali bin Ahmad Al-Jufri (Pekalongan) dan lain-lain.
Habib Mustofa mengaku sangat terkesan selama menempuh pendidikan di Pesantren yang banyak menghasilkan ahli hadits itu. ”Banyak ilmu yang diajarkan kepada saya sehingga saya bisa seperti ini. Ini semua berkat bimbingan beliau dan putranya Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih.”
Pesan dari Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih kepadanya dan selalu dipegangnya sampai sekarang:”Belajarlah kamu hati-hati dan kamu sebagai seorang ulama; jaga sikap tawadhu, jangan sombong dan takabur. Gunakanlah ilmu ini untuk menegakan kalimat tauhid dan sampaikan ilmumu untuk mendidik umat Nabi Muhammad SAW supaya menjadi umat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.”
Setelah dari Darul Hadits pada tahun 1967, ia pulang ke Pontianak dan belajar dengan abahnya sekitar 10 tahun sampai meninggal. Abah Habib Mustafa, Habib Soleh bin Alwi bin Abubakar Al-Haddad adalah seorang ulama yang wafat pada bulan Muharam 1403 H.
Pada tahun 1994, ia mendirikan pesantren pada tahun 1994. “Sekarang ada 300 santri, yang menetap sekitar 100 santri dan 60 diantaranya adalah anak-anak yatim piatu,” kata Bapak 19 putra (10 laki-laki, 9 putri) ini kepada alKisah.
Latar belakang membuka pesantren yang banyak dihuni oleh anak-anak yatim piatu, ”Karena kita ingin mengikuti jejak Rasulullah SAW. Karena Rasulullah merangkul pada anak-anak yatim, dan kita perlu membina anak-anak yatim ini,” kata ketua Front Pembela Islam (FPI) Kalimantan Barat ini lebih lanjut.
Menurutnya, selama mengasuh Pesantren, tantangan dan hambatan nyaris sangat sedikit, ”Biasa santri-santri ada yang nakal dan ada yang tidak. Cuma itu lainnya tidak ada,” katanya. Lebih lajut, Habib Mustofa menuturkan kalau perjuangan dilandasi dengan semangat keikhlasan akan banyak ditolong oleh Allah SWT. ”Dengan semata-mata berjuang untuk menolong umat Rasulullah SAW supaya bertaqwa kepada Allah. Kami Alhamdulillah tidak kekurangan makanan dan minuman. Banyak donatur yang, mengantarkan kebutuhan santri ke Pesantren.”
Selain itu, di pesantrennya santri-santri mendapat perlakuan yang sama sebagaimana anak-anaknya. “Kami menganggap seluruh santri yang ada di Pesanteen ini seperti anak sendiri. Santri dan anak kita tidak ada perbedaan. Sama seperti anak kita. Kita selalu berdoa kepada Allah, supaya santri-santri ini bisa diberikan ilmu yang bermanfaat dijadikan ulama yang warasatul anbiya (Pewaris para Nabi) supaya kalau kita mati merekalah yang bisa meneruskan pondok pesantren ini. Hanya itu niat kami.”
Selain itu, di pesantren Riyadhul Jannah Pontianak, santri-santri diwajibkan menggunakan bahasa arab sebagai bahasa percakapan bersehari-hari.”Kalau mereka sudah betul-betul fasih berbahasa Arab dan ilmu nahwunya, baru mereka diperbolehkan memperdala bahasa asing lainnya, seperti bahasa Inggris. Sebab kalau kita tak tahu ilmu Nahwu, tidak boleh kita mengartikan Al-Qur’an.”

Sejarah Danau Buatan

Taman Situ Lembang adalah salah satu ruang terbuka hijau di Jakarta. Taman seluas sekitar 11.150 meter persegi itu terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Danau buatan di tengah taman itu, yang airnya berasal dari mata air, menjadi obyek wisata menarik.
Taman itu dibangun satu paket dengan pembangunan rumah-rumah di kawasan Menteng pada 1918. Arsiteknya Ir FJ Kubatz. Kubatz adalah seorang karyawan Gemeente Batavia atau pemerintahan kota zaman kolonial Belanda. la melanjutkan proyek rancangan arsitek pertama, Moojen, yang tertunda pada tahun 1911.
Di bulan Ramadan ini, Taman Situ Lembang menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk menanti azan Magrib atau ngabuburit. Pohon-pohon yang menjulang tinggi membuat teduh areal taman. Karena letaknya tepat di jantung Ibu Kota, taman ini mudah diakses, terutama dari beberapa ruas jalan protokol seperti Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan MH Thamrin.
Beberapa pengunjung mengaku bersantai di Taman Situ Lembang sudah menjadi kegiatan rutin di bulan Ramadan. "Kami lumayan sering ke sini, seminggu bisa dua kali. Ngabuburit di sini gratis. Ya, daripada ke mal yang membuat kita pasti keluar duit...," kata Budi (19) yang ditemani Tomi (20), mahasisiwa perguruan tinggi swasta di Jakarta, yang tengah berteduh di bawah pohon beringin. Kedua sahabat ini bisa menghabiskan waktu sampai dua jam untuk bercengkerama dengan teman-teman mereka.
Alasan yang sama disampaikan Nana (26) dan Vini (24) yang tengah duduk di bangku semen di pinggiran danau. "Gratis sih di sini. Sering juga sih saya ke mal, tapi kalau di sini kan udaranya lebih sejuk dan segar," ujar kedua pegawai kantoran di kawasan Sarinah ini
Tak hanya mereka yang ingin menikmati keindahan taman dan danau yang datang ke sini. Banyak juga yang memanfaatkan Situ Lembang untuk memancing ikan. Salah seorang di antara pemancing adalah Cahyadi (70). Kakek dua cucu itu rela mengayuh sepeda dari rumahnya di rumah susun Tanahabang, Jakarta Pusat, untuk mengail ikan di Situ Lembang.
"Saya sudah enggak punya kegiatan apa-apa selain nanem tanaman obat. Jadi, sambil nunggu waktu buka saya mancing di sini," tutur kakek yang tinggal seatap dengan anak dan cucu-cucunya ini.
la membawa tiga joran dan membelanjakan uang Rp 20.000 untuk bahan-bahan membuat umpan pancing. Bahan-bahan itu terdiri atas campuran pelet burung, telur bebek, dan ikan sardin. Ia mengaku sudah datang pukul 10.00 dan baru akan pulang pukul 17.00. Dalam waktu kurang dari satu jam dia sudah sampai di rumah dan siap berbuka puasa.
Andri (32), ayah dua anak yang tinggal di kawasan sekitar Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan, membawa dua joran untuk memancing di danau. Berbeda dengan Cahyadi, dia memilih menggunakan cacing tanah sebagai umpan.
Cahyadi clan Andri sama-sama mengaku hasil memancingnya tidak menentu. Bahkan, mereka kadang tak mendapat ikan sama sekali meski sudah berjam jam di sana. Mereka juga mengungkapkan, ikan yang didapat dari danau Taman Situ Lembang tak pernah dikonsumsi, melainkan dijadikan koleksi peliharaannya di akuarium di rumah.
Di bibir danau Taman Situ Lembang ada 18 selasar yang khusus dibuat sebagai tempat duduk para pemancing. Ikan-ikan yang ada di danau itu cukup banyak jenisnya, seperti ikan bawal, emas, patin, dan mujair
Para pengunjung dan pemancing di Taman Situ Lembang tak pernah khawatir jika ingin berbuka puasa. Sebab, terdapat banyak pedagang makanan di sana, seperti pedagang tahu gejrot, bakwan Malang, bakso, dan nasi goreng.
Para pedagang itu rata-rata menggelar jualannya sejak siang dan akan berkemas atau pindah ke Taman Suropati pada malam harinya, karena pada pukul 20.00 Taman Situ Lembang sudah ditutup. (Warta Kota/cr2)
sumber : kompas.com

Sejarah Gunung Kemilut


















Flores, Provinsi NTT, Indonesia. Lokasi gunung ini tepatnya di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende. Gunung ini memiliki tiga buah danau kawah di puncaknya. Danau ini dikenal dengan nama Danau Tiga Warna karena memiliki tiga warna yang berbeda, yaitu merah, biru, dan putih. Walaupun begitu, warna-warna tersebut selalu berubah-ubah seiring dengan perjalanan waktu.
Kelimutu merupakan gabungan kata dari "keli" yang berarti gunung dan kata "mutu" yang berarti mendidih. Menurut kepercayaan penduduk setempat, warna-warna pada danau Kelimutu memiliki arti masing-masing dan memiliki kekuatan alam yang sangat dahsyat.
Danau atau Tiwu Kelimutu di bagi atas tiga bagian yang sesuai dengan warna - warna yang ada di dalam danau. Danau berwarna biru atau "Tiwu Nuwa Muri Koo Fai" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Danau yang berwarna merah atau "Tiwu Ata Polo" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung. Sedangkan danau berwarna putih atau "Tiwu Ata Mbupu" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal.
Luas ketiga danau itu sekitar 1.051.000 meter persegi dengan volume air 1.292 juta meter kubik. Batas antar danau adalah dinding batu sempit yang mudah longsor. Dinding ini sangat terjal dengan sudut kemiringan 70 derajat. Ketinggian dinding danau berkisar antara 50 sampai 150 meter.

Awal mulanya daerah ini diketemukan oleh Van Such Telen, warga negara Belanda, tahun 1915. Keindahannya dikenal luas setelah Y. Bouman melukiskan dalam tulisannya tahun 1929. Sejak saat itu wisatawan asing mulai datang menikmati danau yang dikenal angker bagi masyarakat setempat. Mereka yang datang bukan hanya pencinta keindahan, tetapi juga peneliti yang ingin tahu kejadian alam yang amat langka itu.
Kawasan Kelimutu telah ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Alam Nasional sejak 26 Februari 1992.

Sejarah Danau Tiga Warna

Pada waktu bertugas di Maumere-Flores selama kurang lebih dua tahun, saya sering melakukan perjalan dinas maupun rekreasi dengan keluarga mengunjungi berbagai tempat dipulau Flores. Salah satu tempat yang pernah saya kunjungi adalah danau tiga warna yang berada dipuncak gunung Kelimutu yang mempunyai ketinggian 1.639 meter diatas permukaan laut. Danau tiga warna yang merupakan salah satu obyek pariwisata dipulau Flores – Propinsi Nusa Tenggara Timur yang cukup terkenal sampai kemanca negara ini secara administratif berada diwilayah Kabupaten Ende.
Untuk mencapai lokasi ini dari luar Propinsi tidak harus menuju kota Kupang ibukota Propinsi NTT kemudian kekota Ende baru menuju ke gunung Kelimutu, akan tetapi justru lebih mudah apabila menggunakan penerbangan dari Denpasar-Bali langsung menuju Maumere-Flores.
Penerbangan ke-Maumere merupakan jalur penerbangan reguler dengan rute Denpasar – Maumere – Kupang, dimana rute Denpasar menuju Maumere ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam 30 menit, sedangkan Maumere menuju Kupang ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam.

Dari Maumere perjalanan dilanjutkan melalui jalan darat yang menghubungkan antara kota Maumere ibukota Kabupaten Sikka dengan Kota Ende yang berjarak 149 km, selanjutnya berhenti didesa Moni yang berjarak 83 km dari Maumere. Ada bus umum yang melayani trayek Maumere dengan Ende PP dengan menggunakan bus jenis bus mini (Colt disel). Desa Moni merupakan desa terdekat dengan kawasan gunung Kelimutu, didesa ini terdapat homestay milik Pemda Kabupaten Ende dan juga banyak terdapat homestay yang dikelola oleh masyarakat setempat. Jarak dari desa Moni sampai kawasan danau tiga warna yang ada dipuncak gunung Kelimutu masih sekitar 13 km, selanjutnya melalui jalan setapak kurang lebih 1 km untuk dapat mencapai bibir danau tiga warna tersebut dikawasan puncak gunung Kelimutu.
Apabila menggunakan penerbangan direct flight dari Denpasar menuju Kupang, maka dari Kupang terbang kembali ke Maumere dan dilanjutkan dengan perjalan darat melalui rute seperti tersebut diatas.
Bisa juga dari Kupang menuju Ende dengan penerbangan perintis dengan waktu tempuh sekitar 1 jam atau dengan kapal feri dari Kupang ke Ende yang memerlukan waktu tempuh sekitar 12 jam, berangkat dari Kupang pada siang hari dan sampai di Ende pada pagi esok harinya, kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat dari Ende nenuju Moni dengan jarak tempuh 66 km.
Maumere juga bisa dijangkau dari kota Makassar Sulawesi Selatan dengan kapal PELNI yang ditempuh dalam waktu kurang lebih 24 jam. Dulu ada penerbangan dari Makassar – Maumere – Kupang, namun sempat berhenti dan saya tidak tahu apakah penerbangan tersebut sekarang sudah beroperasi lagi. Selanjutnya dari Maumere menuju Kelimutu dilakukan perjalanan darat.
Kelimutu juga bisa dijangkau dari pulau Papua dengan kapal PELNI dengan rute Papua – Kupang, kemudian dari Kupang dapat dilanjutkan dengan menempuh rute seperti dijelaskan diatas.


-
Pada umumnya orang menginap di Moni sebelum naik ke puncak gunung Kelimutu karena mereka akan naik pada pagi dinihari sekitar pukul 03.00 untuk melihat matahari terbit dan sebelum pukul 10.00 harus kembali turun karena pada waktu itu kabut telah mulai turun.
Pada waktu itu, saya melihat warna air danau adalah biru muda, merah dan putih susu, akan tetapi warna tersebut beberapa kali mengalami perubahan.
Selain mengunjungi Kelimutu, di Ende bisa dilihat peninggalan sejarah yaitu rumah tinggal Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia pada waktu diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang kondisinya masih terawat dengan baik. Sedangkan di Maumere bagi mereka yang menyukai olah raga diving (menyelam), dapat menikmati panorama bawah air yang indah dan pantai pasir putih daerah Kewapante diteluk Maumere yang lokasinya tidak terlalu jauh dari bandara Waioti Maumere.
Sebagai cendera mata dapat dibeli kain tenun tradisional NTT dengan corak dan warna yang khas, serta kerajinan gading khas Maumere berupa gelang, cincin, pipa rokok, tongkat dan aneka macam pernak pernik yang terbuat dari gading gajah.
Nah kalau ada kesempatan silahkan saksikan keindahan danau tiga warna dipuncak gunung Kelimutu yang tidak ada duanya didunia ini, pokoknya dijamin nggak bakal nyesel deh! Selamat menikmati keindahan danau tiga warna dipuncak gunung Kelimutu yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidupmu.

Sejarah Danau Toba

Di Sumatera Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau. Danau itu bernama Danau Toba sedangkan pulau ditengahnya dinamakan Pulau Samosir. Konon danau tersebut berasal dari kutukan dewa.
Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar,” gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.
Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. “Bermimpikah aku?,” gumam petani.
“Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu. “Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu seolah mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.
Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama petani tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,” gumam mereka. Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. “Aku tahu Petani itu pasti memelihara makhluk halus! ” kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan semakin rajin bekerja.
Setahun kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.
Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan Petani agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Petani kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada suaminya.
Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu hari, Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !,” umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.
Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama Pulau Samosir.

Sejarah Indramayu

Kabupaten Indramayu yang termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat, dengan wilayah darat 20.006,4 km2 merupakan wilayah yang cukup luas. Sumberdaya alamnya dari laut, sawah, dan hutan. Secara historis, selama ini Indramayu menyatakan diri memiliki akar sejarah dari Jawa Tengah (Bagelen) melalui tokoh Arya Wiralodra. Dalam beberapa sumber, ada yang menyebut tokoh ini utusan Demak (abad ke-16), ada pula yang menyebut Mataram (abad ke-17). Akar sejarah itulah yang menjadikan Indramayu bukanlah wilayah Sunda, meskipun berada di Jawa Barat yang mayoritas dihuni suku Sunda dan berbahasa Sunda. Meski demikian, perkembangan selanjutnya menunjukkan Indramayu juga tidak serupa dengan realitas sosio-kultur Jawa Tengah. Ada semacam sosio-kultur tersendiri yang “bukan Jawa” dan “bukan pula Sunda”. Bagi orang Indramayu, menyebut orang Jawa Tengah adalah “wong wetan”, sedangkan orang Pasundan adalah “wong gunung”. Sosio-kultur Indramayu itu menunjukkan karakter yang sebangun dengan Cirebon.
Secara akar sejarah pula, beberapa daerah di Indramayu berkaitan dan banyak dipengaruhi kerajaan lain di sekitarnya, seperti Cirebon dan Sumedanglarang. Jika yang disebut wilayah kekuasaan Wiralodra sebagai Kabupaten Indramayu seperti sekarang, tampaknya harus ditelisik lebih dalam. Ketika dinasti Wiralodra berkuasa hingga pertengahan abad ke-19, peristiwa politik dan keagamaan di Pulau Jawa sangat dinamis. Dimulai dari runtuhnya Majapahit sebagai simbol kebesaran agama Hindu pada tahun 1527, dinamika itu tampak dengan kemunculan kerajaan Islam, Demak, yang mampu berpengaruh pada Cirebon dan Banten, serta dikuasainya Sundakelapa dari Pajajaran. Simbol kebesaran Hindu lainnya dalam diri Pajajaran pun runtuh juga. Gegap politik dan kekuasaan seperti itu sedikit banyak, tentu saja, memiliki pengaruh yang kuat pada Cimanuk (Indramayu) sebagai wilayah kecil yang berada pada pusaran dinamika itu. Berakhirnya era Hindu dan bangkitnya Islam juga menyentuh kehidupan sosio-religi di wilayah tersebut. Ketika Mataram menguasai Jawa Barat selama 57 tahun (1620-1677), pengaruh kekuasaan itu sangat jelas pada daerah-daerah yang sekarang bernama Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Cirebon, dan beberapa lainnya sebagai wilayah imperium Mataram.
Ketika Wiralodra dianggap sebagai pendiri Kabupaten Indramayu dan 7 Oktober 1527 sebagai hari kelahiran Indramayu, legitimasi itu dilakukan pada era kekinian, yakni berdasarkan Perda No. 02/1977 tanggal 24 Juni 1977. Nama Indramayu sebagai wilayah kabupaten, sebenarnya berasal dari nama wilayah kecamatan yang berada di kota (Sindang – Kota Indramayu), titik sentral kekuasaan dinasti Wiralodra. Menurut Babad Dermayu yang ditulis tahun 1900, beberapa keturunan Wiralodra menjabat beberapa jabatan penting di beberapa wilayah sebagai demang maupun rangga, misalnya Raden Marngali Wirakusuma (Demang Bebersindang, mungkin maksudnya Sindang), Nyayu Wiradibrata (rangga), Nyayu Malayakusuma (Demang Plumbon), Nyayu Hekakusuma (Demang Anjatan), Nyayu Suradisastra (ulu-ulu), Nyayu Hanjani (mantri tanah), Raden Kalid Wiradaksana (Demang Lohbener), Raden Prawiradirja (Demang Losari), Raden Wirasentika (Demang Lohbener), Nyayu Sastrakusuma (Jututulis Demang Brengenyeber), Nyayu Patimah (Demang Lelea), Raden Wirasaputra (demang).
Klaim bahwa nama wilayah sekabupaten dengan nama Indramayu, sebenarnya dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19, seperti dalam Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869 untuk menetapkan seorang bupati dengan wilayah kabupaten. Pendapat ini sejalan dengan Dasuki (1977):
Kalau yang dimaksud dengan daerah Dermayu dalam babad itu adalah suatu tempat yang sekarang merupakan lokasi desa Dermayu, mungkin ada benarnya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan daerah Indramayu ialah daerah yang sekarang merupakan daerah jurisdiksi Indramayu, sudah pasti tidak benar, sebab bertentangan dengan pemberitaan dari beberapa sumber lain yang menyatakan bahwa sebelum Wiralodra datang ke daerah Indramayu, di beberapa bagian daerah ini sudah ada manusia yang berbudaya.
Yang terjadi pada era dinasti Wiralodra, Indramayu cenderung identik pada wilayah yang sekarang disebut sekitar Sindang, Kota Indramayu, hingga Lohbener. Pada kurun waktu sebelumnya atau bersamaan, wilayah lain memiliki nama yang berbeda, dengan tokoh pendiri (Ki Gede) yang berbeda pula. Beberapa hal bisa menjadi argumentasi bahwa Kabupaten Indramayu bukanlah “Dermayu”-nya Wiralodra, dulu. Naskah Wangsakerta menguraikan tentang mazhab-mazhab dalam Islam yang berkembang di Pulau Jawa, termasuk wilayah Cirebon dan Indramayu seperti dituliskan dalam Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, parwa 2 sargah 4. Beberapa Ki Gedeng (Ki Gede) dari Indramayu ada yang dikategorikan menganut mazhab Syafi’i, tetapi ada pula yang Syi’ah yang diajarkan Syeh Lemahabang. Penganut mazhab Syafi’i adalah Ki Gedeng Krangkeng, Ki Gedeng Dermayu, Ki Buyut Karangamapel, Pangeran Losarang, Ki Gedeng Srengseng, dan Ki Gedeng Pekandangan, sedangkan mazhab Syi’ah dianut oleh Ki Gedeng Junti. Data seperti itu bukan hanya menyiratkan tentang perkembangan mazhab dalam Islam yang dianut para tokoh masyarakat (Ki Gedeng, Ki Buyut) di Indramayu, akan tetapi lebih dari itu menyiratkan adanya deskripsi kesejajaran tokoh-tokoh tersebut. Penyebutan nama-nama Ki Gedeng atau Ki Buyut di enam daerah tersebut tampak memiliki derajat yang sama. Antara Krangkeng, Dermayu, Karang Ampel, Srengseng, Pekandangan, dan Junti tidak ada hirarkis. Hal itu bisa diinterprestasikan di wilayah-wilayah tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng atau Ki Buyut secara otonom dan tidak menginduk pada Ki Gedeng atau Ki Buyut di sekitarnya. Ki Gedeng Dermayu tidak membawahi Ki Gedeng Krangkeng, Karang Ampel, Srengseng, Pekandangan, dan Junti, tetapi berdiri sejajar. Acuan kurun waktunya adalah masa hidup Sunan Gunungjati dan Syeh Lemahabang (abad ke-16).
Sebelumnya kesejajaran itu tampak pada cerita Ciungwanara pada zaman Pajajaran yang menyebut-nyebut nama Indramayu, Junti, Anjatan, dan Kandanghaur, seperti dalam Waosan Babad Galuh (Serengrana, 1280 H). Naskah lain pada zaman Pajajaran menyiratkan adanya tokoh lain dan wilayah lain di Indramayu yang sudah disebut keberadaannya sejak abad ke-15, seperti dalam buku Sunan Rahmat Suci Godog (Deddy Effendy-Warjita, 2006). Disebut-sebut nama Raden Khalipah Kandangaur yang bersahabat dengan Kean Santang (putra Prabu Sri Baduga Maharaja dengan Subang Larang). Kean Santang adalah adik Pangeran Walangsungsang (Cakrabuana) dan Nyi Mas Rarasantang (ibunda Sunan Gunungjati).
Pengaruh Sunan Gunungjati, baik secara religi dan sosio-politik, amat kuat pada hampir seluruh tokoh (Ki Gede) dari desa-desa kuna di Indramayu. Sekitar 70 Ki Gede, dari Sukra hingga Kertasemaya, dari Bantarwaru hingga Singakerta, dimakamkan di sekitar makam Sunan Gunungjati di Nur Giri Ciptarengga, Gunung Sembung, Cirebon (Bambang Irianto, makalah 2007). Adanya makam Habib Keling di Desa Tanjakan Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu menjadi catatan tersendiri, apakah Habib Keling identik dengan Dipati Keling. Jika ya, menegaskan lagi adanya relasi itu, sebab Dipati Keling merupakan sahabat Sunan Gunungjati yang ikut serta dalam penyerangan ke Batavia tahun 1526. Ia salah seorang komandan, di samping beberapa komandan lainnya seperti Dipati Cerbon, Dipati Cangkuang, dan Faletehan. Sebelumnya Dipati Keling bersama 98 pengikutnya menyatakan masuk Islam dan bergabung bersama Sunan Gungjati. Diperkirakan, Dipati Keling berasal dari India, karena kulitnya hitam seperti orang Keling (Sunardjo 1983: 53,81). Sangat mungkin, yang dimaksud makam tersebut adalah petilasan, sebab makam Dipati Keling terdapat di Astana Gunungjati Cirebon berdekatan dengan Sunan Gunung Jati. Jejak lain di Indramayu yakni adanya makam Pangeran Suryanegara yang terdapat di Desa Bulak Kecamatan Jatibarang dan memiliki keturunan di Indramayu (Raffan S. Hasyim, makalah 2007). Suryanegara adalah adik bungsu Dipati Cerbon I atau Pangeran Swarga (putra Pangeran Pasarean dengan Ratu Mas Nyawa).

Foto Habib Umar Bin Hafiz Habib Munzir Al Musawa


Foto Habib Umar bin Hafiz dan Habib Munzir Al Musawa
July 31, 2010 by ahlulkisa
Al Habib Umar bin Salim bin Hafiz dan Al Habib Munzir Al Musawa
Continue Reading
Foto Habib Umar bin Hafidz

Foto Habib Umar bin Hafidz

July 22, 2010 by ahlulkisa
Habib Umar bin Hafidz bin Syeh Abubakar
Continue Reading
Profil Habib Umar bin Salim Bin Hafiz

Profil Habib Umar bin Salim Bin Hafiz

June 25, 2010 by ahlulkisa
Biografi Al-Habib Umar bin Salim bin Hafiz Al-Imam Al-’Arifbillah Al-Musnid Al-Hafidz Al-Mufassir Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz.  Beliau adalah Al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafidz putera dari Abdallah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidrous putera dari Al-Hussain putera dari Al-Syaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abdallah putera dari [...]
Continue Reading
Foto Al Habib Abdulqadir bin Ahmad Dan Habib Umar bin Hafiz

Foto Al Habib Abdulqadir bin Ahmad Dan Habib Umar bin Hafiz

June 21, 2010 by ahlulkisa
Al Maghfurlah Al Habib Abdulqadir bin Ahmad Assaqof  dan Al Habib Umar bin Hafiz
Continue Reading
Foto Al-Habib

Foto Al-Habib

June 12, 2010 by ahlulkisa
Foto Habib Ali Al-Jufri, Habib Muhammad Al-Maliki, Habib Umar bin Hafidz
Continue Reading
Foto Habib umar dan Habib Anis
Foto Habib Umar bin Hafidz

Foto Habib Umar bin Hafidz

June 8, 2010 by ahlulkisa
Habaib Umar bin Hafidz Yaman
Continue Reading

Sejarah Habib Husein Al-Idrus Luar Batang


Sebagai kota besar, wajar jika Jakarta tak bisa lepas dari kesan sebagai gudang 
tempat maksiat dan negatif. Tapi bukan berarti yang baik tak ada di kota 
metropolitan itu. Maka tak salah jika ada yang mengatakan, di Jakarta segalanya 
ada, mulai dari yang paling jelek hingga yang terbaik, tempat mencerburkan diri 
dalam kubangan dosa sekaligus menimba pahala. 
 
Kawasan tua bernama "Kota" contohnya. Jika malam hari tiba, lampu-lampu tempat 
maksiat semarak, seakan saling berlomba menggaet siapa saja yang lewat. Tapi 
siapa sangka tak jauh dari sana terdapat makam seorang waliyullah, tepatnya di 
daerah bernama Luar Batang. Keberadaan Luar batang sendiri menyimpan satu kisah 
gaib. Satu kawasan ibukota sebelah utara, di pesisir pantai itu, konon dulunya 
merupakan satu pulau kecil, merupakan penjelmaan dari hanya sebatang pohon yang 
berdiri di atas gunung Batang.
 
Kisah ajaib itu terkait dengan peran seorang wali agung yang datang dari 
Hadramaut Yaman. Husein namanya. Nama lengkapnya Habib Husein bin Abi Bakr 
al-Idrus. Menurut catatan sejarah, beliau datang ke Jakarta (Batavia) pada 1746.
Alkisah, suatu ketika seorang opsir Belanda lewat di depan Habib Husein. Tanpa 
dinyana, Habib memanggil orang itu lalu menepuk pundak perwira itu, dan 
berkata, "Anda harus kembali ke negeri Anda. Anda akan menjadi orang besar."
Perwira itu hanya bisa tertegun. Tetapi lantaran cerita karamah Habib Husein 
sudah masyhur di kalangan masyarakat Betawi, perwira itu pun menuruti sarannya. 
Dan betul saja, tak lama kemudian terdengar kabar bahwa ia telah diangkat 
menjadi seorang gubernur.
 
Maka, sebagai ungkapan rasa terima kasih, sang gubernur baru itu datang lagi ke 
Batavia hanya untuk bertemu dengan Habib Husein, guna memberikan hadiah khusus, 
yang bentuk dan jenisnya terserah Habib. Tetapi sesampai di sana, ternyata 
Habib menolak segala pemberian itu.
 
Akhirnya, karena didesak terus, Habib memilih satu kawasan tempat tinggal 
sebagai pusat dakwah, yang tak lain adalah Luar Batang (Konon, dulunya kawasan 
yang dimiliki Habib itu seluas 30 hektar, tetapi kemudian dibagi-bagikan kepada 
warga sekitar).
 
Sejak itu, Luar Batang menjadi salah satu basis Islam di bumi Jayakarta. Lewat 
pesantren yang didirikan, Islam dapat menyebar ke seantero Betawi. Di Luar 
Batang pula Habib menghabiskan sisa hidupnya, hingga wafat. Kini, Luar Batang 
menjadi kawasan padat penduduk. Bahkan karena dekat pantai, kawasan itu 
terkesan kumuh. Tetapi toh tempat itu tak pernah sepi oleh pengunjung. Selain 
Museum Bahari, di sana terdapat makam Habib Husein yang menjadi tujuan banyak 
peziarah.
 
Tidak sedikit para peziarah yang 'bermukim' di sana hingga berbulan-bulan, demi 
ngalap barokah sang Habib (Bahkan tak jarang yang datang dari luar Jawa dan 
mancanegara, seperti Timur Tengah, Eropa dan Afrika). Makam yang tak pernah 
sepi itu kian ramai jika malam Jumat tiba. Begitu juga pada peringatan Maulid 
Nabi dan haul wafat beliau (karena wafat pada bulan Ramadan, peringatan haulnya 
diadakan pada bulan Syawal). Hingga kini, sebagian besar rombongan Walisongo 
yang datang dari arah timur menjadikan makam Habib sebagai 'bonus' setelah 
berziarah ke wali kesembilan yakni makam Sunan Gunung Jati Cirebon. 
 
Dari Luar Batang, umumnya mereka melanjutkan perjalanan ke Banten, ziarah ke 
makam Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati, dan makam waliyullah Syekh 
Nawawi. Kalau kemudian makam Habib Husein menjadi satu tujuan para peziarah, 
itu tak lain karena keagungan Habib Husein, baik budi pekerti maupun ilmu 
pengetahuan agama. Beliau adalah da'i besar di kawasan Batavia abad ke-18 
hingga Islam tersebar luas di sana.
 
Seorang ilmuwan Belanda Dr Karel Steenbrik dalam tulisannya mengatakan bahwa 
beliau adalah salah satu ulama keturunan Hadramaut yang sangat disegani pada 
saat itu. Generasi pendakwah asal Hadramaut berikutnya antara lain Habib Utsman 
(Mufti Batavia akhir abad ke-19), Habib Abdurrahman al-Misri, Habib Ali bin 
Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang), Habib Salim bin Abdullah Sumair, Habib Salim 
bin Jindan, Habib Umar al-Attas dan lainnya.
 
Untuk menuju ke makam Habib Husein tidaklah sulit. Dari arah Ancol atau Glodok 
Kota, Anda tinggal mencari arah Pasar Ikan atau Museum Bahari di kawasan utara 
Kota. Kalau menggunakan angkutan umum, dari stasiun atau terminal Kota Anda 
dapat menumpang taksi, bajaj atau ojek. Yang menarik, juga tersedia sepeda 
onthel dengan sadel belakang yang sudah modified hingga dijamin empuk seperti 
sepeda motor. [washiel hifdzy]

Kamis, 26 Agustus 2010

Khalifah Ali bin Abi Thalip r.a.

Sahabat yang lahir dalam keprihatinan dan meninggal dalam Kesunyian.
Dialah, khalifah Ali bin Abi Thalib ra.

Ali kecil adalah anak yang malang. Namun, kehadiran Muhammad SAW telah memberi seberkas pelangi baginya. Ali, tidak pernah bisa bercurah hati kepada ayahnya, Abi Thalib, selega ia bercurah hati kepada Rasulullah. Sebab, hingga akhir hayatnya pun, Abi Thalib tetap tak mampu mengucap kata syahadat tanda penyerahan hatinya kepada Allah. Ayahnya tak pernah bisa merasa betapa nikmatnya saat bersujud menyerahkan diri,kepada Allah Rabb semesta sekalian alam.

Kematian ayahnya tanpa membawa sejumput iman begitu memukul Ali. Kelak dari sinilah, ia kemudian bertekad kuat untuk tak mengulang kejadian ini buat kedua kali. Ia ingin, saat dirinya harus mati nanti, anak-anaknya tak lagi menangisi ayahnya seperti tangis dirinya untuk ayahnya, Abi Thalib. Tak cuma dirinya, disebelahnya, Rasulullah pun turut menangisi kenyataan tragis ini...saat paman yang selama ini melindunginya, tak mampu ia lindungi nanti...di hari akhir,karena ketiaadaan iman di dalam dadanya.

Betul-betul pahit, padahal Ali tahu bahwa ayahnya sangatlah mencintai dirinya dan Rasulullah. Saat ayahnya, buat pertama kali memergoki dirinya sholat berjamaah bersama Rasulullah, ia telah menyatakan dukungannya. Abi Thalib berkata, ""Janganlah kau berpisah darinya (Rasulullah), karena ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan".

Sejak masih berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah. Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada kesetiaannya. Ia telah hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru berakhir saat Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ali ada disaat yang lain tiada. Ali adalah tameng hidup Rasulullah dalam kondisi kritis atau dalam berbagai peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam.

Kecintaan Ali pada Rasulullah, dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah kesempatan ia menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda, yaitu : "Ali, engkaulah saudaraku...di dunia dan di akhirat..."

Ali, adalah pribadi yang istimewa. Ia adalah remaja pertama di belahan bumi ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Konsekuensinya adalah, ia kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja. Disaat remaja lain berhura-hura. Ali telah berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang ditunjukkan oleh Rasulullah, baik melalui lisan maupun melalui tindak-tanduk beliau. "Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya", begitu kata Ali mengenang masa-masa indah bersama Rasulullah tidak lama setelah Rasulullah wafat.

Amirul mukminin Ali, tumbuh menjadi pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai forum serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili kemudaan. Namun, muda tak berarti tak bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali yang kemudian menjadi rujukan. Khalifah Umar bahkan pernah berkata,"Tanpa Ali, Umar sudah lama binasa"

Pengorbanannya menjadi buah bibir sejarah Islam. Ali-lah yang bersedia tidur di ranjang Rasulullah, menggantikan dirinya, saat rumahnya telah terkepung oleh puluhan pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy yang hendak membunuhnya di pagi buta. Ali bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika kemudian ia masih tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu 'terpaksa' hijrah ditemani Abu Bakar seorang.

Keperkasaan Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang pertama yang paling berkesan bagi Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau memanggil para sahabat yang ikut berjuang dalam Badar dengan sebutan " Yaa...ahlul Badar..."), Ali menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Dalam perang itu ia berhasil menewaskan separo dari 70an pihak musuh yang terbunuh. Hari itu, bersama sepasukan malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk laksana badai gurun.

Perang Badar adalah perang spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat dan pertama-tama Rasulullah menunjukkan dedikasinya terhadap apa yang disebut dengan iman. Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya menggundahkan hati para sahabat. Namun, doa pamungkas Rasulullah menjadi penyelamat dari jiwa-jiwa yang gundah. Sebuah doa, semirip ultimatum, yang setelah itu tak pernah lagi diucapkan Rasulullah..."Ya Allah, disinilah sisa umat terbaikmu berkumpul...jika Engkau tak menurunkan bantuanmu, Islam takkan lagi tegak di muka bumi ini..."

Dalam berbagai siroh, disebutkan bahwa musuh kemudian melihat jumlah pasukan muslim seakan tiada batasnya, padahal jumlah sejatinya tidaklah lebih dari 30 gelintir. Pasukan berjubah putih berkuda putih seperti turun dari langit dan bergabung bersama pasukan Rasulullah. Itulah, kemenangan pasukan iman. Dan Ali, menjadi bintang lapangannya hari itu.

Tak hanya Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan Ali sebagai sosok yang disegani. Di Uhud, perang paling berdarah bagi kaum muslim, Ali menjadi penyelamat karena dialah yang tetap teguh mengibarkan panji Islam setelah satu demi satu para sahabat bertumbangan. Dan yang terpenting, Ali melindungi Rasulullah yang kala itu terjepit hingga gigi RAsulullah bahkan rompal dan darah mengalir di mana-mana. Teriakan takbir dari Ali menguatkan kembali semangat bertarung para sahabat, terutama setelah melihat Rasululah dalam kondisi kritis.

Perang Uhud meski pahit namun sejatinya berbuah manis. Di Uhud, Rasulullah banyak kehilangan sahabat terbaiknya, para ahlul Badar. Termasuk pamannya, Hamzah --sang singa padang pasir. Kedukaan yang tak terperi, sebab Hamzah-lah yang selama ini loyal melindungi Rasulullah setelah Abi Thalib wafat. Buah manisnya adalah, doa penting Rasulullah juga terkabul, yaitu masuknya Khalid bin Walid, panglima musuh di Perang Uhud, ke pangkuan Islam. Khalid kemudian, hingga akhir hayatnya, mempersembahkan kontribusi besar terhadap kemenangan dan perkembangan Islam.

Bagi Ali sendiri, perang Uhud makin menguatkan imagi tersendiri pada sosok Fatimah binti Muhammad SAW. Sebab di perang Uhud, Fatimah turut serta. Dialah yang membasuh luka ayahnya, juga Ali, berikut pedang dan baju perisainya yang bersimbah darah.

Juga di perang Khandak. Perang yang juga terhitung genting. Perang pertama yang sifatnya psyco-war. Ali kembali menjadi pahlawan, setelah cuma ia satu-satunya sahabat yang 'berani' maju meladeni tantangan seorang musuh yang dikenal jawara paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud. Dalam gumpalan debu pasir dan dentingan suara pedang. Ali bertarung satu lawan satu. Rasulullah SAW bahkan bersabda: “Manifestasi seluruh iman sedang berhadapan dengan manifestasi seluruh kekufuran”.

Dan teriakan takbir menjadi pertanda, bahwa Ali menyudahinya dengan kemenangan. Kerja keras Ali berbuah. Kemenangan di raih pasukan Islam tanpa ada benturan kedua pasukan. Tidak ada pertumpahan darah. kegemilangan ini, membuat Rasulullah SAW pada sebuah kesempatan : “Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih utama dari amalan umatku hingga hari kiamat kelak”.

Seluruh peperangan Rasulullah diikuti oleh Ali, kecuali satu di Perang Tabuk. Rasulullah memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang TAbuk. Kehadiran Ali di Mekkah, meski seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk itu. Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.

Perubahan drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat. Ia lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya. Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali benar-benar terinspirasi oleh kata-kata Rasulullah, "jika aku ini adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya". Dari ahli pedang menjadi ahli kalam (pena). Ali begitu tenggelam didalamnya, hingga kemudian ia 'terbangun' kembali ke gelanggang untuk menyelesaikan 'benang ruwet', sebuah nokta merah dalam sejarah Islam. Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur melawan sahabat.


Kenangan Bersama Fatimah Az-Zahra
Sejatinya, sosok Fatimah telah lama ada di hati Ali. Ali-lah yang mengantarkan Fatimah kecil meninggalkan Mekkah menyusul ayahnya yang telah dulu hijrah. Ali pula yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa Fatimah menangis tersedu-sedu setiap kali Rasulullah dizhalimi. Ali bisa merasakan betapa pedihnya hati fatimah saat ia membersihkan kotoran kambing dari punggung ayahnya yang sedang sholat, yang dilemparkan dengan penuh kebencian oleh orang-orang kafir quraisy.

Bagi Fatimah, sosok rasulullah, ayahnya, adalah sosok yang paling dirindukannya. Meski hati sedih bukan kepalang, duka tak berujung suka, begitu melihat wajah ayahnya, semua sedih dan duka akan sirna seketika. Bagi Fatimah, Rasulullah adalah inspirator terbesar dalam hidupnya. Fatimah hidup dalam kesederhanaan karena Rasulullah menampakkan padanya hakikat kesederhanaan dan kebersahajaan. Fatimah belajar sabar, karena Rasulullah telah menanamkan makna kesabaran melalui deraan dan fitnah yang diterimanya di sepanjang hidupnya. Dan Ali merasakan itu semua. Karena ia tumbuh dan besar di tengah-tengah mereka berdua.

Maka, saat Rasulullah mempercayakan Fatimah pada dirinya, sebagai belahan jiwanya, sebagai teman mengarungi kehidupan, maka saat itulah hari paling bersejarah bagi dirinya. Sebab, sesunguhnya, Fatimah bagi Ali adalah seperti bunda Khodijah bagi Rasulullah. Teramatlah istimewa.

Suka duka, yang lebih banyak dukanya mereka lewati bersama. Dua hari setelah kelahiran Hasan, putra pertama mereka, Ali harus berangkat pergi ke medan perang bersama Rasulullah. Ali tidak pernah benar-benar bisa mencurahkan seluruh cintanya buat Fatimah juga anaknya. Ada mulut-mulut umat yang menganga yang juga menanti cinta sang khalifah.

Mereka berdua hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan yang sampai mengguncang langit. Penduduk langit bahkan sampai ikut menangis karenanya. Berhari-hari tak ada makanan di meja makan. Puasa tiga hari berturut-turut karena ketiadaan makanan pernah hinggap dalam kehidupan mereka. Tengoklah Ali, dia sedang menimba air di pojokkan sana, Setiap timba yang bisa angkat, dihargai dengan sebutir kurma. Hasan dan Husein bukan main riangnya mendapatkan sekerat kurma dari sang ayah.

Pun, demikian tak pernah ada keluk kesah dari mulut mereka. Bahkan, mereka masih bisa bersedekah. Rasulullah...tak mampu menahan tangisnya... saat mengetahui Fatimah memberikan satu-satunya benda berharga miliknya, seuntai kalung peninggalan sang bunda Khodijah, ketika kedatangan pengemis yang meminta belas kasihan padanya. Rasulullah, yang perkasa itu, tak mampu menyembunyikan betapa air matanya menetes satu persatu...terutama mengingat bahwa kalung itu begitu khusus maknanya bagi dirinya... dan fatimah rela melepasnya, demi menyelamatkan perut seorang pengemis yang lapar, yang bahkan tidak pula dikenalnya.

Dan lihatlah...langit tak diam. Mereka telah menyusun rencana. HIngga, melalui tangan para sahabat, kalung itu akhirnya kembali ke Fatimah. Sang pengemis, budak belaian itu bisa pulang dalam keadaan kenyang, dan punya bekal pulang, menjadi hamba yang merdeka pula. Dan yang terpenting adalah kalung itu telah kembali ke lehernya yang paling berhak...Fatimah.

Namun, waktu terus berjalan. Cinta di dunia tidaklah pernah abadi. Sebab jasad terbatasi oleh usia. Mati. Sepeninggal Rasulullah, Fatimah lebih sering berada dalam kesendirian. Ia bahkan sering sakit-sakitan. Sebuah kondisi yang sebelumnya tidak pernah terjadi saat rasulullah masih hidup. Fatimah seperti tak bisa menerima, mengapa kondisi umat begitu cepat berubah sepeninggal ayahnya. Fatimah merasa telah kehilangan sesuatu yang bernama cinta pada diri umat terhadap pemimpinnya. Dan ia semakin menderita karenanya setiap kali ia terkenang pada sosok yang dirindukannya, Rasulullah SAW.

Pada masa ketika kekalutan tengah berada di puncaknya, Fatimah teringat pada sepenggal kalimat rahasia ayahnya. Pada detik-detik kematian Rasulullah...di tengah isak tangis Fatimah...Rasulullah membisikkan sesuatu pada Fatimah, yang dengan itu telah berhasil membuat Fatimah tersenyum. Senyum yang tak bisa terbaca. Pesan Rasulullah itu sangatlah rahasia, dia hanya bisa terkatakan nanti setelah Rasulullah wafat atau saat Fatimah seperti sekarang ini...terbujur di pembaringan. Ya, Rasulullah berkata, "Sepeninggalku, ...diantara bait-ku (keluargaku), engkaulah yang pertama-tama akan menyusulku..."

Kini, Fatimah telah menunggu masa itu. Ia telah sedemikian rindu dengan ayahanda pujaan hatinya. Setelah menatap mata suaminya, dan menggenggam erat tangannya...seakan ingin berkata, "kutunggu dirimu nanti di surga...bersama ayah...", Fatimah Az-Zahro menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya... dalam deraian air mata... Ali menguburkan jasad istrinya tercinta itu...yang masih belia itu...sendiri...di tengah malam buta...Ali tidak ingin membagi perasaannya itu dengan orang lain. Mereka berdua larut dalam keheningan yang hanya mereka berdua yang tahu. Lama Ali terpekur di gundukan tanah merah yang baru saja dibuatnya. Setiap katanya adalah setiap tetes air matanya. Mengalir begitu deras. Hingga kemudian, dengan dua tangan terkepal. Ali bangkit berdiri...dan berteriak sekeras-seKerasnya sambil menghadap langit...." A L L A H U ... A K B A R".


Pertempuran Antar Sahabat
Amirul Mukminin Ali ra., kemudian berkonsentrasi membenahi kondisi umat. Terutama pada sisi administrasi pemerintahan, ekonomi dan stabilitas pertahanan. Beberapa reformasi fundamental, seperti penggantian pejabat dan pengambilan kembali harta yang pernah diberikan oleh khalifah sebelumnya (Ustman bin Affan) menyulut kontroversi. Terutama, dalam kacamata awam, Ali tak pula kunjung menyeret pelaku pembunuhan Khalifah Ustman ke pengadilan.

Yang harus dihadapi Ali tak tanggung-tanggung, sahabatnya sendiri. Sahabat yang dulu pernah berjuang bersama Rasulullah menegakkan Islam, kini berada dalam barisan yang hendak melawannya. Bahkan ada pula sahabat yang dulu membaiatnya menjadi khalifah. kini turut pula menghadangnya. Kondisi yang betul-betul pahit.

Ali tidak pandang bulu. Baginya hukum menyentuh siapa saja. Tidak ada istilah 'orang kuat' di mata Ali. BAgi beliau, "orang lemah terlihat kuat dimataku, saat aku harus berjuang keras mengembalikan hak miliknya yang terampas. Orang kuat terlihat lemah di mataku, saat aku terpaksa mengambil sesuatu darinya yang bukan menjadi haknya".

Di masa Khalifah Ali, pusat pemerintahan di pindahkan ke Kuffah. Dari sini kemudian ia mengendalikan wilayah Islam, yang saat itu telah meluas termasuk Syam. Kondisi saat itu benar-benar membutuhkan ketegasan. Sebagai khalifah terakhir dalam bingkai Khulafa Ar-rasyidin, Ali dihadapkan pada masa pelik. Dimana akar dari permasalahannya adalah makin bertambahnya Islam dari segi jumlah namun makin berkurang pula dari segi kualitas. Interest pribadi (nafs), kesukuan (nasionalisme sempit) yang dibalut atas nama agama, menjadi awal mulanya masa kemunduran Islam.

Ketidaksempurnaan informasi yang diterima bunda Aisyah di Mekkah terhadap beberapa kebijakan Khalifah Ali telah membuatnya menyerbu Kuffah. Perang Jamal (Unta), demikian sejarah mencatatnya. Sebab bunda Aiysah ra memimpin perang melawan Ali dengan menunggangi Unta. Bersama Aisyah, turut pula sahabat Zubair bin Awam dan Thalhah. Di akhir peperangan, Khalifah Ali menjelaskan semuanya, dan Asiyah dipulangkan dengan hormat ke Mekkah. Ali mengutus beberapa pasukan khusus untuk mengawal kepulangan bunda Aisyah ke Mekkah.

Berikutnya adalah Perang Shiffin. Bermula dari GUbernur Syam, Muawiyyah bin Abu Sofyan yang menyatakan penolakannya atas keputusan Ali mengganti dirinya sebagai gubernur. Kondisi serba tak taat ini membuat Ali masygul. Mereka bertemu dalam Perang Siffin. Dan di saat-saat memasuki kekalahannya, pasukan Syam kemudian mengangkat Al-Quran tinggi-tinggi dengan tombaknya, yang membuat pasukan Kufah menghentikan serangan. Dengan cara itu, kemudian dibukalah pintu dialog.

Perundingan inilah yang kemudian membawa babak baru dalam kehidupan Ali, bahkan dunia Islam hingga saat ini. Sebuah tahkim (arbitrase) yang menurut sebagian pihak membuat Ali di bagian pihak yang kalah, namun menunjukkan kemuliaan hati Ali di sisi lain. Syam mengutus Amru Bin 'Ash yang terkenal dengan negosiasinya dan Ali mengutus Abu Musa Asyari, yang terkenal dengan kejujurannya. Ali nampak betul-betul berharap terhadap perundingan ini dan menghasilkan traktat yang membawa kedamaian diantara keduanya. Namun, kelihaian mengolah kata-kata dari pihak Syam membuat arbitrase itu seperti mengukuhkan kemunduran Ali sebagai khalifah dan menggantikannya dengan Muawiyah.

Dan ini menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa elemen di pasukan Ali. Dari sini, lahirlah para Khawarij yang kelak kemudian, bertanggung jawab terhadap kematian Khalifah Ali.

Khawarij itu, Tiga untuk Tiga... Mereka membentuk tim berisi tiga orang yang tugasnya membunuh tiga orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perundingan tersebut. Abdurahman bin Muljam ditugasi untuk membunuh Ali bin Thalib, Amr bin Abi Bakar ditugasi untuk membunuh Muawiyah, dan Amir bin Bakar ditugasi untuk membunuh Amr bin Ash. Mereka kemudian gagal membunuh tokoh-tokoh ini, kecuali Abdurahman bin Muljam.

Menjelang wafatnya Khalifah Ali ra, Ali sempat bermuram durja. Sebab, penduduk Kuffah termakan propaganda dan kehilangan ketaatan kepada dirinya. Saat Ali meminta warga Kuffah untuk mempersiapkan diri menyerbu Syam, namun warga Kuffah tak terlalu menanggapi seruan itu. Ini berdampak psikologis amat berat bagi Ali. Tidak hanya sekali dua kali. tapi acapkali seruan Khalifah Ali di anggap angin lalu oleh warga Kufah.

Karena itu, Ali sempat berkata," “Aku terjebak di tengah orang-orang tidak menaati perintah dan tidak memenuhi panggilanku. Wahai kalian yang tidak mengerti kesetiaan! Untuk apa kalian menunggu? Mengapa kalian tidak melakukan tindakan apapun untuk membela agama Allah? Mana agama yang kalian yakini dan mana kecemburuan yang bisa membangkitkan amarah kalian?”

Pada kesempatan yang lain beliau juga berkata, “Wahai umat yang jika aku perintah tidak menggubris perintahku, dan jika aku panggil tidak menjawab panggilanku! Kalian adalah orang-orang yang kebingungan kala mendapat kesempatan dan lemah ketika diserang. Jika sekelompok orang datang dengan pemimpinnya, kalian cerca mereka, dan jika terpaksa melakukan pekerjaan berat, kalian menyerah. Aku tidak lagi merasa nyaman berada di tengah-tengah kalian. Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara.”

"Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara". Pernyataan pedih mewakili hati yang pedih. Dalam kehidupan kekinian, mungkin bertebaran di tengah-tengah kita pemimpin-pemimpin baru atau anak-anak muda berjiwa pembaharu yang dalam hatinya sama dengan dalamnya hati Ali ra saat mengucapkan kalimat itu. Mereka menawarkan jalan cerah tapi, kita umatnya memilih kegelapan yang nampak menyilaukan. Kita abai terhadap ajakan mereka, dan malah mungkin memusuhinya...mengisolasinya. Ahhh...semoga kita terhindar dari kelakuan keji itu...

Usaha Khalifah Ali ra untuk menyusun kembali peta kekuatan Islam sebenarnya telah diambang keberhasilan. Satu demi satu yang dulunya tercerai berai telah kembali berikrar setia pada beliau. Namun , Allah berkehendak lain, setelah berjuang keras sekitar 5 tahun menjaga amanah kepemimpinan umat, dan setelah melewati berbagai fitnah dan deraan, Khalifah Ali menyusul kekasih hatinya, Rasulullah SAW dan FAtimah Az-Zahra menghadap Sang Pencipta, Allah SWT.

Hari itu, tanggal 19 ramadhan tahun 40 H, saat beliau mengangkat kepala dari sujudnya, sebilah pedang beracun terayun dan mendarat tepat di atas dahinya. Darah mengucur deras membahasi mihrab masjid. “Fuztu wa rabbil ka’bah. Demi pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.”, sabda Ali di tengah cucuran darah yang mengalir. Dua hari setelahnya, Khalifah Ali wafat. Ia menemui kesyahidan seperti cita-citanya. Seperti istrinya, Ali juga dimakamkan diam-diam di gelap malam oleh keluarganya di luar kota Kuffah.

Di detik-detik kematiannya, bibir beliau berulang-ulang mengucapkan “Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah. Waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah.” yang artinya, “Siapapun yang melakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dan siapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akan mendapatkan balasannya.”

Beliau sempat pula mewasiatkan nasehat kepada keluarganya dan juga umat muslim. Di antaranya : menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim, memperhatikan anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat yang merupakan tiang agama, melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad, zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah, serta menjalankan amr maruf dan nahi munkar.

Islam telah ditinggalkan oleh satu lagi putra terbaiknya. Pengalaman heroik hidupnya telah melahirkan begitu banyak kata-kata mulia yang mungkin akan pula menjadi abadi. Ia menjadi inspirasi bagi setiap pemimpin yang ingin membawa bumi ini pada ketundukan kepada Allah SWT.

Saat ia dicerca dari banyak arah, lahirlah perkataan beliau : “Cercaan para pencerca tidak akan melemahkan semangat selama aku berada di jalan Allah”.

Saat beliau mesti menerima kenyataan pahit berperang dengan sahabatnya sendiri, dan juga mendapatkan persahabatan dari oarng yang dulunya menjadi musuh,lahirlah : "Cintailah sahabatmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi penentangmu pada suatu hari, dan bencilah musuhmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi sahabatmu pada suatu hari".

Beliau juga sangat menghormati ilmu. Tidak terkira banyaknya, kalmat bijak yang keluar dari mulutnya tentang keutamaan mencari ilmu. Ia juga menyarankan orang untuk sejenak merenungi ilmu dan hikmah-hikmah kehidupan. Kata beliau, "Renungkanlah berita yang kau dengar secara baik-baik (dan jangan hanya menjadi penukil berita), penukil ilmu sangatlah banyak dan perenungnya sangat sedikit".

Khalifah Ali ra adalah sebuah legenda. He is a legend. Dan legenda tidak akan pernah mati. Bisa jadi, saat lilin-lilin di sekitar kita mulai padam satu persatu, dan kita kehilangan panduan karenanya, maka pejamkanlah saja sekalian matamu. Hadirkan para legenda-legenda Islam itu, termasuk beliau ini, dalam benakmu dan niscaya ia akan menjadi penerang bagimu...seterang-terangnya cahaya yang pernah ada di muka bumi

Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia

Ketika lagi buka2 file lama, saya nemu sesuatu yang menarik di komputer saya, saya nemu file tugas saya ketika saya kelas dua(2) smu. Tugasnya adalah resensi buku, berikut saya post bagian pembahasan materinya...

1. JUDUL BUKU : MENEMUKAN SEJARAH -Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia-
2. PENGARANG : Ahmad Mansur Suryanegara
3. PENERBIT : Penerbit Mizan
4. BENTUK : Karya ilmiah tulisan
5. CETAKAN : Cetakan III, Januari 1996
6. TEBAL BUKU : 335 halaman
7. GAMBAR KULIT : Bendera Merah Putih dengan latar berbagai macam lambang ormas Islam


*Pemantapan Kesadaran Sejarah Lokal

Barangkali dewasa ini masih terlihat adanya sejarawan yang masih belum memahami makna sejarah Indonesia sebagai peristiwa sejarah yang menempati ruang seperenam lingkaran bumi. Dan barangkali masih ada yang menilai sejarah Indonesia sebagai sejarah lokal, bukan sebagai sejarah internasional.
Kalau kita perhatikan dengan seksama, hubungan kontak antar Indonesia dengan bangsa luar, yang terjadi sekarang ini disebutkan di daerah atau lokal, padahal dahulu merupakan kerajaan atau kesultanan. Maka tak dapat disangkal lagi bahwa sejarah lokal yang menuturkan peristiwa sejarah di daerah, mungkin pula untuk dikategorikan sebagai sejarah internasional.
Hal lain yang perlu diperhatikan, adalah sistem periodisasi. Misalnya, periodisasi zaman Hindu, padahal pada masa tersebut berkembang pula Budha dan Islam. Jadi, dari realitas fakta di atas, pembagian periodisasi dengan penamaan yang spesifik, akan memberikan gambaran gerak sejarah yang diskontinyu. Apakah Periode Pemerintahan Kolonial, diartikan telah hilangnya kekuatan politik pribumi yang masih ada, hanya dinilai tidak ada dari sisi pandangan Barat. Hal ini terjadi akibat sejarah lokal belum mendapatkan tempat yang layak, sehingga periodisasinya tidak tepat. Informasinya belum merata, dan porsi penulisannya tidak seimbang.

*Masuknya Islam ke Nusantara

Tulisan ini tidak bermaksud membicarakan masuknya Islam ke setiap pulau di Nusantara, melainkan hanya menitikberatkan pada masuknya Islam ke pulau Sumatra dan Jawa, karena kedua wilayah ini dinilai sebagai sampel bagi wilayah Nusantara lainnya.
Ada tiga teori yang menganalisis tentang masuknya Islam ke Nusantara, Teori Gujarat, Teori Mekkah dan Teori Persia. Ketiga teori tersebut mencoba memberikan
jawaban permasalahan tentang masuknya agama Islam ke Nusantara, dengan perbedaan pendapatnya: Pertama, mengenai waktu masuknya agama Islam. Kedua, tentang asal negara yang menjadi perantara atau sumber tempat pengambilan ajaran agama Islam. Ketiga, tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara.

Teori Gujarat
Teori ini dinamakan Teori Gujarat, bertolak dari asal negara yang membawa Islam ke Nusantara. Adapun peletak dasar teori ini kemungkinan besar adalah Snouck Hurgronje, dalam bukunya L’Arabie et les Indes Neerlandaises, atau Revue de l’histoire des Religious, jilid Ivil.
Hurgronje menitikberatkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan: Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.
Pandangan Snouck Hurgronje ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap para sejarawan Barat, dan berpengaruh juga terhadap sejarawan Indonesia. Teori Gujarat umumnya menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13. Pendapat ini berdasarkan bukti batu nisan Sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada 1297. Pendapat yang mengatakan bahwa nisan di Pasai tersebut becorak Hinduistis semakin menguatkan Teori Gujarat(India). Selain itu ajaran mistik Islam yang berkembang di Nusantara diakui dikembangkan oleh orang-orang India yang telah memeluk Islam.
Dari berbagai argumen Teori Gujarat yang dikemukakan oleh beberapa sejarawan, terlihat bahwa analisis mereka bersifat Hindu Sentris, karena beranggapan bahwa seluruh perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama di Nusantara tidak lepas dari pengaruh India.

Teori Mekkah
Teori Gujarat mendapat kritik dan koreksi dari Hamka yang melahirkan teori baru, yakni Teori Mekkah. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan pandangannya pada peranan bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam ke Nusantara. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, dan Mekkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam.
Analisis Hamka berbeda dengan sejarawan dan orientalis Barat, dengan menambahkan pengamatannya pada masalah Mazhab Syafi’i, sebagai mazhab yang istimewa di Mekkah dan mempunyai pengaruh yang terbesar di Nusantara. Hal ini tidak dibicarakan secara mendalam oleh sejarawan Barat sebelumnya.
Selain itu, Hamka menolak pendapat yang menyatakan bahwa agama Islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13, karena di Nusantara pada abad ke-13 telah berdiri kekuatan politik Islam, yaitu kerajaan Samudera Pasai. Dan menurutnya tidak mungkin dalam waktu singkat setelah kedatangannya umat Islam telah mampu membangun sebuah kekuatan politik. Jadi masuknya agama Islam ke Nusantara menurut Hamka tidak terjadi pada abad ke-13, melainkan jauh sebelum itu, yaitu pada abad ke-7.
Pendapat ini didasarkan pada peranan bangsa Arab dalam perdagangan di Asia yang dimulai sejak abad ke-2 SM. Peranan ini tidak pernah dibicarakan oleh para penganut Teori Gujarat. Tinjauan Teori Gujarat menghapuskan peranan bangsa Arab dalam perdagangan dan penguasaan lautan, yang telah lama mengenal Samudera Indonesia daripada bangsa-bangsa lainnya. Dari ahli geografi Arab seperti Abu Zaid Al- Balkhi(934), Ibnu Hauqal(975), dan Maqdisi(985), kita mendapatkan informasi tentang peta bumi yang telah dimiliki oleh bangsa Arab, yang di dalamnya terdapat Samudera Indonesia.
Kalau kita perhatikan fakta sejarah ini, bangsa Arab telah memiliki peta bumi yang dilengkapi dengan Samudera Indonesia, dan menguasai jalur laut menuju Nusantara, sehingga tidaklah mengherankan bila pada tahun 674 telah berdiri perkampungan Arab Islam di pantai Barat Sumatra. Selain itu, fakta tersebut memberikan informasi tentang telah terjadinya hubungan Nusantara-Arab jauh sebelum abad ke-13. Oleh karena itu sukar kiranya untuk dimengerti mengapa pendukung Teori Gujarat, hanya melihat India-Nusantara dengan menghapuskan peranan Arab dalam perdagangan lautnya, termasuk penguasaan jalur laut ke Nusantara.
Kalau kenyataan sejarah semacam ini kemudian dianggap tidak pernah terjadi, artinya adanya peranan bangsa Arab atas bangsa Indonesia tidak ingin diakui oleh para sejarawan dan orientalis Barat. Mereka lebih cenderung memperbanyak informasi tentang hubungan India-Nusantara. Apakah target informasi sejarah yang bersifat Hindu Sentris adalah untuk menanamkan kecintaan intelektual Indonesia terhadap sejarah pra-Islam di Nusantara?. Kalau target pengaruh informasi sejarah adalah sikap politik kalangan intelektual Indonesia, tepatlah peringatan Hamka terhadap pandangan Snouck Hurgronje yang bertujuan menentang pengaruh Arab yang ditemuinya dalam perang Aceh.
Disamping dibawa oleh para pedagang Arab, Hamka juga menyatakan orang-orang Nusantara mengambil inisiatif untuk belajar dengan berlayar ke Cina, Hindustan, Laut Merah, Pantai Jeddah, bahkan sampai membangun negara baru di Malagasi (Madagaskar). Dengan keterangan ini, Hamka mencoba menginformasikan kemampuan penguasaan laut orang-orang Nusantara pada saat itu. Hal ini biasanya tidak didapatkan pada penulisan sejarah oleh pemerintah kolonial Belanda, sehingga terbaca bangsa Indonesia sebagai bangsa yang pasif dan tidak bergerak keluar.Hal ini tentunya sejalan dengan politik kolonial yang tidak ingin mental bangsa jajahannya terangkat.

Teori Persia

Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya pada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia. Kesamaan kebudayaan itu antara lain:
Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan syi’ah atas kematian Husain. Biasanya diperingati dengan membuat bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut juga bulan Hasan-Husain.
Kedua, adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada 310H/922M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
Ketiga, penggunan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Qur’an tingkat awal.
Teori Persia mendapat tentangan dari berbagai pihak, karena bila kita berpedoman kepada masuknya agama Islam pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah. Sedangkan, saat itu kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan berada di Mekkah, Madinah, Damaskus dan Baghdad. Jadi, belum memungkinkan bagi Persia untuk menduduki kepemimpinan dunia Islam saat itu.

*Masuk dan Meluasnya Islam di Jawa Barat

Masuknya Islam ke Jawa Barat diyakini tidak lepas dari pengaruh perniagaan para pedagang Arab Islam. Mereka ini memperdagangkan rempah-rempah yang berasal dari Maluku dan Banten, jadi mereka pasti pernah singgah di salah satu pelabuhan di Jawa Barat, baik Banten, Cirebon maupun Sunda Kelapa.
Pertimbangan lainnya adalah, peranan Jawa Barat yang telah dirintis sejak adanya kekuasaan politik Taruma Negara pada abad ke-5, memberikan kesan bahwa Jawa Barat merupakan wilayah tertua di Jawa yang memegang peranan perdagangan, mustahil bila pada abad ke-7 tidak berbicara dalam perniagaan.
Proses penyebaran Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui gerbang Jawa Barat yakni Cirebon. Sebagai mana masuknya Katolik melalui pelabuhan Sunda Kelapa, besar kemungkinan masuknya Islam juga datang dari sebelah Barat Indonesia. Untuk di Jawa tidak diragukan lagi pasti melalui gerbang barat: Sunda Kelapa dan Banten.

*Rasionalisasi Kisah Sejarah Walisongo

Kisah sejarah Walisongo sebagai tokoh penyebar ajaran Islam di Indonesia, selalu dikaitkan dengan hal-hal yang kurang rasional, bahkan lebih dekat dengan ajaran yang tidak Islami.
Barangkali kisah yang banyak beredar di masyarakat bersumber dari penulis yang menentang Islam, karena kecenderungan para ulama yang kurang memperhatikan penulisan sejarah. Kelemahan ini menjadi penyebab utama kenapa kisah sejarah mereka banyak ditulis oleh penulis yang bukan beragama Islam.
Para wali seringkali dikisahkan melakukan hal-hal mistik dan irasional, seperti bertapa ditepi sungai berpuluh-puluh tahun. Tidakkah cara itu bertentangan dengan syari’at Islam?. Hal itu justru lebih dekat dengan ajaran Hindu yang mengajarkan sistem pertapaan. Sudah seharusnya kita lebih kritis dan tidak menerima begitu saja penulisan sejarah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Pemilihan Wilayah Dakwah

Para wali, meskipun masing-masing tidak hidup sezaman, tetapi dalam pemilihan wilayah dakwahnya tidak sembarangan. Penentuan tempat dakwahnya mempertimbangkan pula faktor geostrategi yang sesuai dengan kondisi zamannya.
Mereka memilih pulau Jawa karena mereka melihat Jawa sebagai pusat kegiatan ekonomi, politik dan kebudayaan di Nusantara pada saat itu. Sebagai pusat perniagaan, tentunya Jawa banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari luar Jawa, sehingga diharapkan para pedagang inilah yang nantinya akan menyebarkan ajaran Islam di daerah asal mereka.
Kalau kita perhatikan dari kesembilan wali dalam pembagian wilayah dakwahnya, ternyata mereka membagi wilayah Jawa dengan rasio 5:3:1.
Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para wali. Di sini ditempatkan 5 wali, dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai wali perintis, mengambil wilayah Gresik. Setelah beliau wafat, wilayah ini dikuasai oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu.
Kalau kita perhatikan posisi wilayah yang dijadikan basis dakwah kelima wali tersebut, semuanya mengambil tempat “kota bandar” atau pelabuhan. Pengambilan posisi pantai ini adalah ciri Islam sebagai ajaran yang disampaikan oleh para da’i yang berprofesi sebagai pedagang.
Berkumpulnya kelima wali ini di Jawa Timur adalah karena kekuatan politik saat itu berpusat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kediri di Kediri dan Majapahit di Mojokerto.
Di Jawa Timur para wali terlihat sebagai penyebar Islam yang berdagang. Artinya tidak seperti yang banyak digambarkan oleh “dongeng” yang memberitakan kisah para wali sebagai “bhiksu”, atau lebih banyak beribadah semacam bertapa di gunung daripada aktif di bidang perekonomian. Ternyata dinamika kehidupannya lebih rasional seperti halnya yang dicontohkan oleh Rasulullah yang juga pernah berdagang.
Di Jawa Tengah para wali mengambil posisi di Demak, Kudus dan Muria. Sasaran dakwah para wali yang di Jawa Tengah tentu berbeda dengan para wali di Jawa Timur. Di Jawa Tengah dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan politik Hindu dan Budha sudah tidak berperan lagi. Hanya para wali melihat realitas masyarakat yang masih dipengaruhi oleh budaya yang bersumber dari ajaran Hindu dan Budha. Dan mereka melihat bahwa wayang sebagai media komunikasi yang memiliki pengaruh besar terhadap pola pikir masyarakat. Oleh karena itu, wayang perlu dimodifikasi, baik bentuk maupun isi kisahnya perlu diIslamkan.
Penempatan para wali di Demak, Kudus dan Muria ternyata tidak hanya ditujukan untuk penyebaran Islam di Jawa Tengah semata, tetapi untuk kawasan Indonesia Tengah seluruhnya. Saat itu, pusat kekuatan politik dan ekonomi memang sedang beralih ke Jawa Tengah. Dengan runtuhnya Majapahit akibat serangan dari Kediri (1478) dan munculnya Kesultanan Demak yang nantinya melahirkan Kesultanan Pajang dan Mataram II. Perubahan kondisi politik seperti ini, memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai arti geostrategis yang menentukan.
Di Jawa Barat, proses Islamisasi hanya ditangani seorang wali, Syarif Hidayatullah, yang setelah wafat dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Pada saat itu, penyebaran ajaran Islam di wilayah Indonesia Barat, terutama di Sumatra dapat dikatakan telah merata bila dibandingkan dengan kondisi di Indonesia Timur. Seperti sekarang hal yang semacam itu masih dapat kita saksikan kenyataannya.
Adapun pemilihan kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati, tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan jalur perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi yang berasal dari Indonesia Timur, atau pun ke Indonesia Barat. Oleh karena itu, pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial, politik dan ekonomi saat itu, mempunyai nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya.


*Masa-Masa Perlawanan Bersenjata Terhadap Imperialis Barat

Abad ke-16 sering disebut sebagai Discovery of the East (Penemuan Timur) oleh sejarawan Barat, mereka menuliskan bahwa Portugis menemukan Tanjung Harapan, Spanyol menemukan Amerika dan lain sebagainya. Mereka menulis seolah-olah merekalah yang pertama kali datang ke tempat tersebut, seolah-olah merekalah satu-satunya bangsa beradab yang melakukan penjelajahan lautan. Padahal orang-orang Asia sering melewati tempat tersebut, tetapi mereka tidak pernah menuliskannya sebagai yang pertama.
Sekalipun demikian, sebagian sejarawan masih mau menuliskan bahwa Portugislah penemu Tanjung Harapan dan Spanyol penemu Amerika. Selain itu sebagian sejarawan juga menuliskan bahwa kedatangan Portugis ke Asia adalah untuk berdagang, pandangan yang demikian ini keliru, karena kenyataannya kedatangan Portugis ke Asia dengan kapal kosong. Kapal ini diisi dengan batu, guna mencegah agar tidak terlalu oleng. Mereka juga memperlengkapi kapal mereka dengan meriam, itulah sebabnya lebih tepat jika kedatangan Portugis ke Asia adalah untuk merampok ketimbang berdagang.
Karena pada abad ke-16 Nusantara telah dikuasai oleh Islam, maka Portugis berhadapan dengan perlawanan umat Islam. Pertama, walaupun Porugis berhasil menguasai Malaka, tetapi usaha melumpuhkan Kesultanan Demak mengalami kesukaran. Sekalipun saat itu Portugis mendapat bantuan kerjasama dari Kerajaan Hindu Pajajaran, dan berhasil mendirikan benteng di Sunda Kelapa sejak 21 agustus 1522, namun kelanjutannya dapat dipatahkan oleh Fatahillah.
Kedua, pembangunan pangkalan Portugis di Sunda Kelapa dirasakan oleh umat Islam sebagai jepitan penjajah Katolik yang mengancam Kesultanan Demak, dari barat Portugis di Sunda Kelapa dan dari timur Spanyol di Manila. Oleh karena itu, adanya Portugis di Sunda Kelapa dirasakan merupakan ancaman terdekat sesudah Malaka bagi Kesultanan Demak.
Merebut kembali Sunda Kelapa bukanlah pekerjaan yang mudah. Kesultanan Demak tidak langsung melancarkan serangan ke Sunda Kelapa, tetapi terlebih dahulu mematahkan kekuatan penunjang Kerajaan Pajajaran, yakni kedua pelabuhannya: Banten dan Cirebon. Setelah kedua pelabuhan dagang ini dikuasai barulah dilaksanakan penyerangan ke Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527. Jadi baru lima tahun kemudian .

*Akibat Agresi Militer dan Agama

Islam sebagai agama dalam sejarahnya tidak pernah dikembangkan melalui agresi militer ataupun agama, melainkan dilaksanakan dengan jalan damai. Tetapi saat itu umat Islam menghadapi kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Portugis secara tiba-tiba melancarkan serangan militer dan agama Katoliknya di Malaka dan Nusantara. Serangan yang demikian ini diikuti oleh Spanyol dari Indonesia Timur atau dari wilayah Filipina. Sudah tentu situasi ini memaksa umat Islam untuk memberikan jawaban yang tepat. Serangan Portugis yang merusak kerukunan beragama, dijawab dengan angkat senjata.
Serangan Portugis ke Asia Tenggara yang berharap mendapatkan rempah-rempah, emas, kemegahan dan penyebaran agama Katolik, ternyata berbalik. Tujuan semula adalah untuk menghancurkan kekuatan politik dan kebudayaan Islam, tetapi dalam kenyataannya agresi Portugis ke Nusantara justru mendorong menciptakan suasana yang memungkinkan raja-raja Nusantara memeluk agama Islam.
Tingkah laku Portugis yang mengkombinasikan penyebaran agama, dagang dan peperangan di Asia Tenggara ini dilihat sebagai sesuatu yang sangat aneh, karena di Asia Tenggara tidak pernah terjadi penyebaran agama dengan peperangan. Oleh karena itu, kedatangan Portugis ke Asia Tenggara dinilai sebagai tindakan yang mengancam kelestarian kehidupan beragama dan perdagangan yang damai. Para bangsawan dan raja sebagai pengusa perdagangan juga merasa terncam dan memihak kepada Islam sebagai agama rakyatnya saat itu.
Di samping itu, akibat serangan tersebut, Kesultanan Demak dengan bekerjasama dengan kesultanan lainnya berhasil menutup laut Indonesia dari kapal-kapal Portugis. Akibat serangan Portugis, ternyata kekuatan politik Islam saat itu malah bersatu dan keberhasilan merebut kembali Sunda Kelapa ke tangan Islam berhasil mengamankan Nusantara dari usaha penjajahan Portugis selama 200 tahun. Hanya satu wilayah Indonesia yang lemah yang dapat dikuasai Portugis, yakni Timor-Timur, karena disini belum berdiri kekuatan politik Islam.

*Islam Dalam Kebangkitan Nasional

Menurut George Mc Turnan, dalam Nationalism and Revolution in Indonesia, tiga faktor terpenting yang mempengaruhi terwujudnya integritas nasional adalah: Pertama, agama Islam yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia. Kedua, agama Islam tidak hanya mengajari berjamaah, tetapi juga anti penjajah. Ketiga, umat Islam menjadikan bahasa Melayu sebagai senjata pembangkit kejiwaan yang sangat ampuh, dalam melahirkan aspirasi perjuangan nasionalnya.
Sejarah yang demikian itu tidak mendapatkan tempat layak dalam Sejarah Nasional Indonesia. Dituliskan bahwa pelopor Gerakan Nasional adalah Budi Utomo, 20 Mei 1908. Realitas sejarah Budi Utomo sangat bertentangan dengan ketetapan kepeloporannya. Fakta sejarah menuliskan Budi Utomo menolak persatuan Indonesia, dalam kongresnya bulan April 1928. Jadi, setelah 20 tahun Budi Utomo masih tidak mampu memahami perjuangan bangsa Indonesia. Penolakan yang demikian itu diikuti pula dengan penolakan bahasa Indonesia. Kalangan pimpinan Budi Utomo lebih menyukai bahasa Jawa atau Belanda. Slamet Muljana dalam Nasionalisme Sebagai Modal Perdjoeangan Bangsa Indonesia, menyatakan bahwa selama 23 tahun Budi Utomo bersikap eksklusif, berada di luar perjuangan Pergerakan Nasional.
Sebaliknya Sarekat Islam justru mempelopori memasyarakatkan istilah nasional, melalui Kongres Nasional Central Sarekat Islam di Bandung pada 1916. Padahal istilah nasional baru digunakan oleh PNI sebelas tahun kemudian, ketika PNI didirikan di Bandung pada 1927.
K.H Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah yang dibangun pada 18 Nopember 1912, mempelopori pembaruan sistem pendidikan. Muhammadiyah dibangun sepuluh tahun lebih awal daripada Taman Siswa (1922) yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara. Muhammadiyah sendiri diakui jauh lebih berpengaruh di tengah rakyat daripada Budi Utomo. Hal yang demikian ini dapat dipahami, karena Budi Utomo memang merupakan organisasi ningrat yang tidak membuka dirinya untuk rakyat jelata.